Rabu, 21 Maret 2018

Live In Peace





Pernah suatu ketika, saya sedang berada di Singapura. Seorang pengusaha, yang termasuk orang terkaya di negara itu, mengundang saya untuk sarapan di rumahnya dan bertemu dengan keluarga pengusaha itu, istri serta anak-anaknya. Orang ini barangkali adalah impian bagi kita, bagi semua orang. Bagaimana tidak? Dia adalah seorang pengusaha sukses, kaya raya, bahkan yang terkaya di Singapura; baik hati, dan dermawan. Dia adalah sosok ideal, siapapun ingin menjadi seperti dia. Sukses dan kaya.

Selama saya berada di Singapura, setiap hari pengusaha ini mengundang saya untuk sarapan. Macam-macam makanan yang disediakan. Setelah menawarkan makanan ini dan itu, mulailah pengusaha itu bercerita tentang masalahnya.

Sambil makan, saya mendengarkan masalah yang dikemukakan pengusaha tersebut. Ternyata, seorang terpandang dan kaya raya di Singapura, memiliki masalah yang sama dengan orang kebanyakan. Dia mulai mengeluh soal anak lelakinya yang tidak sesuai dengan yang dia harapkan. Tidak punya arah, kurang bekerja keras, dan sebagainya. Ia juga bercerita tentang masalah karyawannya yang menurutnya kurang motivasi dan kurang rajin. Ia yang memiliki segalanya, juga tak luput dari masalah yang dialami setiap orang.

Saat sedang berada di rumahnya yang begitu luas dan indah, saya berjalan ke arahnya di ruang tamu. Saya melihat dia sendirian. Di tengah ruangan yang megah dan luas itu, ia nampak begitu kecil; seorang diri sedang memainkan Ipadnya. Melihat itu, saya menyadari betapa kesepiannya ia. Seketika, saya merasa kasihan padanya

Kisah ini dituturkan oleh Ajahn Brahmali dalam acara Ajahn Brahmali Indonesia Roadshow 2018 yang berisi talk show dan peluncuran bukunya bertajuk Live In Peace. Acara yang diselenggarakan pada tanggal 4 Maret 2018 lalu di Podium Lippo Ekalokasari Plaza Bogor ini diprakarsai oleh Ehipassiko Foundation. Tak hanya talk show dan peluncuran buku Ajahn Brahmali yang berjudul Murnikan Batinmu Sendiri, tetapi pada kesempatan itu ada juga acara amal berupa lelang lukisan. Hasil dari penjualan lukisan tersebut akan digunakan untuk membantu orang-orang di pedesaan yang tidak mampu. Dalam kesempatan roadshow kali ini Ajahn Brahmali berkunjung ke enam kota dalam enam hari, yaitu Surabaya, Semarang, Jakarta, Bogor, Gorontalo dan Makassar.



Ajahn Brahmali lahir di Norwegia tahun 1964. Beliau pertama kali tertarik pada ajaran Buddha pada usia 20an setelah berkunjung ke Jepang. Setelah menyelesaikan gelar sarjana teknik dan keuangan, ia memulai latihan monastiknya sebagai anagarika (yang menjalani delapan sila) di Inggris, di Wihara Amaravati dan Chithurst.

Setelah mendengar ajaran dari Ajahn Brahm, ia memutuskan pergi ke Australia untuk berlatih di Wihara Bodhinyana. Ajahn Brahmali sudah tinggal di Wihara Bodhinyana sejak tahun 1994, lalu ditahbis sebagai bikkhu oleh Ajahn Brahm pada tahun 1996.

Ajahn Brahmali berasal dari keluarga terpandang dan kaya di Norwegia, yang juga termasuk negara paling kaya di dunia. Tetapi ia memutuskan untuk meninggalkan itu semua dan memilih jalan hidup sebagai bikkhu. Mirip dengan Pangeran Sidharta yang meninggalkan istana berikut kemewahannya, mengembara hingga akhirnya mencapai pencerahan tertinggi.




Kisah yang dituturkan oleh Ajahn Brahmali di atas merupakan pengalamannya saat beliau mengunjungi Singapura. Mungkin sudah nasib para bikkhu, bahwa setiap kali bertemu orang atau umat, mereka akan menggunakan kesempatan itu untuk curhat mengenai masalahnya, ujarnya, yang disambut tawa para hadirin.

Banyak orang beranggapan bahwa dengan mengejar sesuatu yang bersifat duniawi, mereka akan mencapai kebahagiaan. Mereka berlomba-lomba meraih sesuatu, menggunakan seluruh energi dan daya upayanya untuk memenuhi keinginannya.

Hingga suatu saat, kematianpun tiba. Segala usaha dan jerih payahnya harus ditinggalkan. Tak ada satupun kekayaan atau keluarganya yang dapat dibawanya saat kematian tiba. Bahkan terkadang saat belum matipun, kita terpaksa harus berpisah dengan harta atau orang yang kita kasihi.

Banyak masalah di dunia ini, entah itu masalah politik, perebutan kekuasaan, peperangan, hingga perpecahan keluarga, akarnya berasal dari nafsu keinginan. Memang lumrah jika manusia menginginkan kebahagiaan, tetapi banyak manusia mencari kebahagiaan ke arah yang salah, demikian kata Ajahn Brahmali. Ironisnya, semakin seseorang mengejar kebahagiaan, dia justru semakin menjauh dari kebahagiaan itu sendiri. Contohnya, seorang suami yang mengharapkan istrinya bersikap begini atau begitu, dan ketika istrinya tidak sesuai dengan yang diharapkan, maka ia akan kecewa. Begitu juga sebaliknya.

Atau orang tua yang menginginkan anaknya menjadi seperti ini atau seperti itu, mereka akan menderita ketika ternyata anaknya tidak menjadi seperti yang diinginkan. Saya akan bahagia jika bisa meraih ini, saya akan bahagia jika mendapatkan itu, tetapi ketika berhasil meraih apa yang kita inginkan, kita malah ingin meraih lebih, dan lebih lagi. Justru terkadang, semakin kita berhasil meraih keinginan kita, kita malah semakin merasa hampa dan terasing.

Ajahn Brahmali memberikan contoh lagi tentang seorang raja yang memiliki wilayah luas, tanah yang subur, kuda-kuda dan gajah yang banyak jumlahnya. Suatu ketika, seorang dari kerajaannya datang menghadap kepadanya. Ia mengatakan kepada raja, bahwa di utara, ada sebuah kerajaan yang tidak begitu besar, tetapi amat subur dan juga memiliki kuda-kuda serta gajah yang banyak jumlahnya. Orang itu bertanya kepada raja, apa yang akan dilakukan oleh baginda. Raja itu menjawab, “Oh, saya akan menyerbu kerajaan itu, supaya rajanya tunduk pada saya, dan wilayahnya menjadi bagian wilayah saya.”

Lalu datanglah seseorang dari selatan melapor kepada raja, bahwa di selatan ada sebuah kerajaan kecil yang subur, dengan kuda-kuda dan gajah yang banyak jumlahnya. Raja itu juga mengatakan, “Saya akan menyerbu kerajaan itu, supaya rajanya tunduk pada saya, dan wilayahnya menjadi bagian wilayah saya.” Hal yang sama dikatakan oleh raja ketika ada orang dari barat dan timur, melaporkan bahwa ada kerajaan tetangga yang subur, dengan kuda dan gajah yang banyak jumlahnya. Ini adalah cermin dari keinginan, tidak akan pernah ada habisnya. Utara, selatan, barat dan timur sudah dikuasai, lalu seluruh planet bumi ini ingin dikuasai juga.



Lima Perenungan

Dalam bukunya Murnikan Batinmu Sendiri, Ajahn Brahmali memberikan lima contoh perenungan yang dapat dilakukan oleh siapa saja, baik itu perempuan, laki-laki, perumah tangga maupun kaum monastik. Perenungan ini sangat bermanfaat untuk mengurangi kotoran batin dan menghadirkan kualitas batin yang positif.

Kelima perenungan itu adalah :

1.    Perenungan Ketuaan
2.    Perenungan Sakit
3.    Perenungan Kematian
4.    Perenungan Berpisah dari yang Disayang dan Menyenangkan
5.    Perenungan Kita Adalah Pewaris Karma Sendiri                                                                                                                                                                                                                        

     
Lelang lukisan yang hasilnya diperuntukkan bagi keluarga tidak mampu di pedesaan



Acara di hari minggu itu banyak menyebut soal kematian. Sebagai penutup, moderator acara Pak Handaka Vijjananda memberikan kesimpulan, bahwa hidup kita ini diperbudak oleh nafsu, sehingga terus bergolak. Hidup kita menjadi tidak tenang, tidak tentram. Ada investasi yang lebih baik, yaitu kualitas batin, spiritual. Lalu, jika seseorang meninggal, apakah dia benar-benar 'Rest In Peace'? Pak Handaka mengatakan, lihatlah bagaimana semasa dia hidup. Jika dia 'Live in Peace', maka matinyapun akan 'Rest in Peace. 
Sebagai tambahan, Bapak Handaka Vijjananda adalah pendiri Ehipassiko Foundation, memiliki tiga orang anak kandung dan anak asuh sebanyak 600 orang. 



Ajahn Brahmali memberikan tanda tangan di buku beliau










Bogor, 4 Maret 2018
















  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar