Ada
sebuah kejadian ketika saya hendak pulang ke Jakarta dari Bangkok. Saat itu
kami naik pesawat dari bandar udara Don Mueang. Karena tidak ingin mengulang
kejadian saat dari Bangkok menuju Chiang Mai - saat itu kami harus sport jantung karena sebentar lagi waktu
boarding sementara kami masih antri
untuk check in, maka jauh sebelum jam lepas landas, kami sudah sampai di
bandara. Untung pada waktu ke Chiang Mai kami tidak ketinggalan pesawat.
Kami
sampai di Don Mueang setengah hari sebelum pesawat lepas landas. Agak lebay kedengarannya, tapi itu karena
kami berangkat dari kota Pattaya. Jadi kami harus memperhitungkan jarak dan
kemacetan yang biasa terjadi di kota Bangkok. Ternyata kami sampai lebih cepat
karena kebetulan jalanan lancar. Tiga jam sebelum boarding, kami sudah check
in. Benar-benar well prepared. Kami
sudah memperhitungkan antrian check in yang pasti bakal mengular. Benar saja.
Tetapi karena masih banyak waktu, saya mengantri sambil kipas-kipas bangga
karena perhitungan saya tepat.
Hari
itu kami puas mengelilingi bandara Don Mueang. Naik, turun, naik lagi. Makan sandwich, duduk sambil mendengarkan Ed
Sheeran, pokoknya, Perfect. Satu saat
ketika sedang antri luggage wraping,
kami menyaksikan pertengkaran dengan bahasa yang tidak kami mengerti.
Sepertinya mereka sepasang suami istri, separuh baya, dengan barang bawaan
sebanyak satu supermarket.
Meski
antrian check in cukup panjang, saat kami selesai dan memasuki ruang tunggu,
masih tersedia waktu yang lumayan. Hati saya benar-benar tenang. Saya duduk
sambil menarik nafas lega. Tinggal menunggu, dan malam ini kami sudah akan
berada lagi di Bogor. Saya mengingat lagi perjalanan kami selama sepekan ini -Bangkok,
Chiang Mai, Chiang Rai, Pattaya. Rasanya waktu cepat berlalu. Tidak terasa kami
sudah akan kembali pulang, dan lusa kembali mengajar seperti biasa.
Di
ruang tunggu ada layar yang menayangkan sebuah iklan yang terus menerus
diulang. Saya tidak mengerti artinya, tapi saya suka iklan tersebut. Yang
paling saya suka dari iklan itu adalah adegan berlari. Di situ digambarkan
seorang gadis yang berlari hendak menemui pasangannya yang akan naik sebuah kapal
laut. Gadis itu berlari keluar dari gedung bertingkat, ke jalan, melewati
pasar, naik tuk-tuk, berlari lagi sampai ke dermaga. Tapi terlambat. Si pria
sudah berada di atas kapal, dan sudah bergerak menjauhi dermaga. Si gadis hanya
mengangkat bahu. Namun tiba-tiba gadis itu melompat ke air. Itulah endingnya.
Saya bertanya-tanya dalam hati, kenapa gadis itu harus melompat, bukan
kapal itu yang memutar arah. Sedang berpikir demikian, tiba-tiba terdengar
suara jeritan. Ketenangan dan kedamaian saya terusik. Bukan jeritan satu orang,
tapi beberapa orang. Spontan saya dan juga beberapa orang lain menoleh ke arah
datangnya suara.
Ruang
tunggu itu cukup padat. Saya tidak bisa menemukan penyebab jeritan dan orang
yang menjerit. Yang nampak hanyalah kerumunan manusia.
Suara-suara
orang yang menjerit itu semakin keras, dan beberapa orang terlihat naik ke atas
kursi. Kami saling berpandangan dan bertanya-tanya, ada apa gerangan. Saya
sempat berpikir ada orang yang mengamuk atau ada seorang teroris. Mungkin
teroris itu membawa senjata. Bagaimana senjata itu bisa lolos dari pemeriksaan?
Tapi kenapa orang-orang itu melihat ke bawah, ke lantai? Apakah orang-orang itu
naik ke atas kursi supaya bisa melihat lebih jelas apa yang terjadi?
Saya
baru saja hendak beranjak mendekati kerumunan itu ketika pertanyaan-pertanyaan
saya tadi segera terjawab. Seekor biawak yang cukup besar muncul dari bawah
kursi seberang kursi saya, merangkak menyeberangi gang menuju ke arah saya! Dengan
panik, tanpa pikir panjang lagi saya langsung melompat ke atas kursi, satu-satunya
jalan untuk menyelamatkan diri. Dan, reaksi orang-orang itu, yang
menjerit-jerit melihat biawak, juga menular kepada saya. Biawak itu merangkak di
bawah kursi, berbelok ke kanan lalu berjalan di gang di antara deretan kursi.
Ruangan itu menjadi gempar. Hampir sebagian besar sudah berdiri di kursi
masing-masing. Bagaimana seekor biawak bisa nyasar berada di ruang tunggu
bandara? Beberapa orang mulai mengambil gambar, memotret dan merekam ‘si
teroris’ itu. Suara jeritan sudah tidak ada, berganti dengan suara tawa. Di
satu sisi saya merasa lega karena dugaan orang mengamuk atau teroris itu tidak
benar. Ternyata hanya seekor biawak yang tersesat. Tetapi ‘hanya’ itu sudah
cukup membuat heboh
Biawak
itu masih berjalan-jalan, diikuti segerombolan orang yang hendak memotret dan
merekam. Seorang turis dari India malah menyapa biawak itu dengan ramah. “Hello,”
katanya. Sementara biawak mondar-mandir kebingungan karena tiba-tiba dikerumuni
papparazi, petugas bandara juga sibuk
ke sana ke mari dengan wajah tegang. Tidak jelas apa yang mereka lakukan.
Mungkin mereka bingung bagaimana cara menangkap si biawak.
Saya masih berdiri di atas kursi, mengikuti biawak dengan pandangan
mata. Dua orang ibu di kiri depan saya sudah duduk kembali di kursinya tetapi
dengan kaki diangkat. Perempuan di hadapan saya berjongkok di kursinya. Saya
melihat ke sekeliling. Saat itulah saya menyadari ada beberapa orang yang tetap
tenang, tidak terganggu oleh kejadian barusan. Mereka tetap duduk di kursi
dengan posisi biasa, bahkan saat biawak melintas di depan mereka. Raut wajah
mereka menunjukkan seperti tidak terjadi apa-apa. Salah satu dari mereka hanya
menggeser kakinya sedikit ketika biawak nyelonong begitu saja tanpa permisi. Kerumunan
papparazi dadakan itu pun sungkan,
mereka membubarkan diri kembali ke tempat duduk masing-masing
Saya
tertegun. Perlahan, saya kembali duduk. Bagaimana segelintir orang tersebut
bisa begitu tenang di tengah situasi yang sempat chaos seperti tadi? Pertanyaan bagaimana seekor biawak bisa
mondar-mandir di ruang tunggu bandara sudah tak penting lagi. Perhatian saya
beralih pada sikap tenang mereka.
Reaksi vs. Respons
Saya
duduk kembali, lalu kemudian teringat sebuah pidato yang diucapkan CEO Google,
Sundar Pichai yang berasal dari India. Dalam pidatonya yang inspiratif, ia
berkisah tentang kecoa. Di sebuah restoran, seekor kecoa tiba-tiba terbang dan
mendarat di seorang wanita. Dia mulai berteriak ketakutan. Reaksinya menular,
karena semua orang di kelompoknya juga bereaksi menjadi panik. Wanita itu
akhirnya berhasil mendorong kecoa tersebut pergi tapi...kecoa itu mendarat di
pundak wanita lain dalam kelompok. Sekarang, giliran wanita lain dalam kelompok
itu melanjutkan drama.
Seorang
pelayan wanita maju untuk menyelamatkan mereka. Dalam aksi lempar kecoa itu,
akhirnya si kecoa jatuh di hadapan pelayan wanita. Pelayan wanita berdiri
kokoh, menenangkan diri dan mengamati perilaku kecoa di mejanya.
Ketika dia cukup percaya diri, ia meraih
kecoa itu dengan jari-jarinya dan melemparkannya keluar dari restoran.
Sang
CEO, sambil menyeruput kopi bertanya-tanya, apakah kecoa yang bertanggung jawab
atas perilaku heboh mereka? Jika demikian, mengapa pelayan wanita itu tidak
terganggu?
Kejadian
yang dikisahkan dalam pidato Sundar Pichai, kebetulan agak mirip dengan
kejadian barusan, pikir saya. Tapi tentu saja saya tidak berada dalam posisi
pelayan wanita yang berdiri kokoh dan bersikap tenang. Saya adalah termasuk
wanita heboh pelaku drama. Tapi saat ini, saya ingin berperan sebagai CEO dan
bertanya,
“Lalu
apa yang bisa saya dapat dari kejadian tadi?”
Dari
tempat saya duduk saya berpikir...kenapa saya dan sebagian besar orang-orang di
sini begitu panik, sedangkan empat orang atau lebih di sebelah kanan sana bisa
bersikap tenang, juga dua orang berjubah coklat di deretan depan itu? Berarti
bukan karena biawaknya, tapi karena respon yang diberikan itulah yang
menentukan. Kecoa akan tetap menjijikkan selamanya, biawak akan nampak
mengerikan, begitu juga dengan masalah. Reaksi wanita terhadap kecoa, reaksi
saya terhadap biawak, atau terhadap masalah, yang sebenarnya lebih menciptakan
kekacauan, melebihi dari masalah itu sendiri.
Kisah
pidato CEO Google yang menyebar lewat pesan Whatsapp itu seperti ditujukan
kepada saya. Saya membayangkan Sundar Pichai seperti berbicara langsung kepada
saya, apa hikmah di balik kisah inspiratif dari pidato ini?
Para
wanita bereaksi, sedangkan pelayan merespon. Reaksi selalu naluriah sedangkan
respon selalu dipikirkan baik-baik. Sebuah cara yang indah untuk memahami
HIDUP. Orang yang bahagia bukan karena semuanya berjalan dengan benar dalam
kehidupannya. Dia bahagia karena sikapnya dalam menanggapi segala sesuatu di
kehidupannya benar!
Suasana
ruang tunggu kembali tenang seperti semula. Biawak itu sudah tidak kelihatan
lagi, mungkin dalam perjalanan pulang kembali ke Sungai Chao Praya. Pengumuman
untuk boarding terdengar dari pengeras suara, dan orang-orang serentak berdiri
tidak sabaran, seperti takut tidak kebagian kursi di pesawat. Antrian menjadi
simpang siur. Chaos kedua terjadi,
kali ini reaksi mendengar suara pengumuman. Seperti ada sebuah dorongan, saya
menoleh ke sebelah kanan. Empat orang itu masih bersikap tenang, menunggu
dengan sabar. Lalu pandangan saya alihkan ke deretan depan. Dua orang berjubah
coklat itu juga masih duduk, sikapnya rileks, ceria, tidak ikut
berdesak-desakan.
Indahnya
sikap mereka, pikir saya dalam hati. Bagi saya, kisah dalam pidato CEO Google
itu benar-benar terjadi pada saya. Pesan dari kejadian itu begitu membekas,
tidak hanya sekedar mengakui bagus, inspiratif, dishare, lalu dibuang. Memang
sulit untuk memberi respon secara benar, tetapi bukan mustahil. Hormat saya
untuk mereka yang tetap tenang itu, mereka adalah ‘Pidato CEO’ di kehidupan
nyata.
Bangkok,
22 November 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar