Hari
kedua di Chiang Mai. Pada hari ini kami mengikuti tur ke kota Chiang Rai. Ada
beberapa tempat yang akan kami kunjungi di Chiang Rai, salah satunya adalah White Temple atau sebutannya dalam
bahasa Thailand, Wat Rong Khun. Wat berarti temple
atau kuil, Rong artinya putih. Saya tidak tahu persis apa arti Khun. Biasanya
diletakkan di depan nama seseorang sebagai sebutan penghormatan, misalnya Khun
Danai Chanchaochai.
Pemandu
kami yang bernama Sarah, menjemput kami di hotel tepat pada waktunya, 7.30 pagi.
Saat itu kami baru saja selesai sarapan. Kami menginap di Hotel De Rachamanka,
yang sekarang telah berubah nama menjadi Hotel Panna. Hotel ini tidak besar.
Ruang makan berfungsi juga sebagai lobby,
sehingga kami bisa sarapan sambil memperhatikan para bikkhu yang sedang berpindapatta
pagi itu, lewat di depan hotel.
Mereka
membawa mangkuk kayu, berjalan dengan bertelanjang kaki menyusuri jalan Rachamanka.
Beberapa dari mereka masih sangat muda, bahkan masih anak-anak. Mereka adalah samanera atau calon bikkhu. Seorang ibu
berdana makanan kepada salah seorang bikkhu tepat di depan hotel. Bersikap
sebagai seorang turis yang sopan, saya berusaha untuk tidak mengambil gambar
bikkhu tersebut yang sedang berdoa. Seorang samanera muda sempat menengok ke
arah lobby, saat saya sedang asyik mengamati. Tak berapa lama, muncul seekor
tupai berjalan dan berakrobat di kabel listrik di depan hotel. Suasana pagi itu
terasa tenang dan damai.
Suasana Jalan Rachamanka, Chiang Mai. Jalan ini tergolong sepi dari lalu lalang kendaraan.
|
![]() |
Hotel De Rachamanka (sekarang Panna Hotel).
|
Mobil
van yang menjemput kami tiba, dan ternyata kami adalah yang terakhir dijemput.
Turis yang lain adalah pasangan suami istri dari Hongkong, tiga orang wanita
dari Prancis, seorang pria dari Spanyol, dan seorang wanita dari Brazil. Kami
langsung menuju kota Chiang Rai.
Chiang
Rai berjarak sekitar 190 Km dari kota Chiang Mai. Kami membutuhkan waktu kurang
lebih 3 jam untuk sampai ke sana. Sarah, tour
guide kami, sangat ramah. Ia juga sangat informatif. Di jalan ia bercerita
pada kami tentang sejarah singkat kota Chiang Mai. Nama Chiang Rai yang mirip
dengan Chiang Mai, menurutnya, karena dulu Chiang Rai merupakan ibukota
kerajaan Lanna (Chiang Mai termasuk ke dalam wilayah Kerajaan Lanna).
Kami
berhenti sebentar di sebuah sumber air panas kecil sebelum mengunjungi White Temple. Setelah beristirahat
sebentar dan melihat-lihat sumber air panas, kami melanjutkan perjalanan.
Hot Spring (sumber air panas). Bau belerang terasa menyengat ketika kami berada di sini.
|
Kios-kios
penjualan souvenir di sumber air
panas. |
Tak
berapa lama kemudian, kami sampai di White
Temple. Dari kejauhan tampak berdiri bangunan putih berbentuk unik. Seluruh
bangunan kuil ini berwarna putih, dari bawah hingga ke atas, sehingga
seolah-olah terbuat dari salju. Begitu putih, begitu bersih; saya merasakan
hawa sejuk hanya dengan memandangnya, padahal cuaca saat itu sangat terik.
Langit
yang cerah, warna birunya kontras melingkupi bangunan. Bentuk naga di atap
bangunan seolah seperti lengan-lengan yang menggapai langit. Sebuah kolam yang
berada di depan kuil memantulkan bayangannya, mengingatkan saya pada sebuah lukisan
Zen. Semua ini, beserta hamparan rumput hijau di sekitar bangunan temple, memberikan kesan seakan kita tak lagi berada di
bumi.
Di
pintu masuk, saat menyerahkan tiket kami diberi kantung plastik oleh petugas.
Gunanya untuk membawa sepatu kami, karena di dalam White Temple alas kaki wajib dilepas. Dua buah lonceng berada di
kiri dan kanan gerbang. Siapapun boleh membunyikannya.
Pada
akhir abad ke 20, kondisi asli Wat Rong Khun sangat memprihatinkan. Adalah
Ajarn Chalermchai Kositpipat, seorang
seniman kelahiran Chiang Rai, yang mendesain dan membiayai sendiri pembangunan serta
renovasi kuil tersebut. Ajarn Kositpipat membangun dengan tujuan, agar tempat
ini dapat dijadikan tempat belajar dan meditasi, sehingga orang dapat
memperoleh manfaat dari ajaran Buddha. Tentu saja, terbuka pula untuk turis
yang ingin melihat langsung keindahan arsitektur White Temple.
Keseluruhan struktur serta bentuk White Temple merupakan simbol-simbol yang memiliki arti. Tidak
seperti kebanyakan kuil di Thailand yang berwarna emas, Wat Rong Khun berwarna
putih dan juga terdiri dari potongan kaca. Warna putih sebagai simbol dari
kemurnian, dan kaca merupakan simbol Dhamma atau ajaran Buddha.
Kalau diperhatikan, atap kuil ini terdiri dari tiga susun.
Dekorasi naga yang mencuat dan menjulang itu menjadikan penampakan kuil ini
sangat menakjubkan dilihat dari kejauhan.
Untuk
memasuki White Temple, kita harus
melewati sebuah jembatan kecil, yang hanya dapat dilalui oleh satu orang. Di bawah
jembatan kita dapat melihat ratusan tangan yang menggapai, tampak menyedihkan, seolah
hendak meraih sesuatu. Ini merupakan simbol dari nafsu (desire). Area ini merupakan representasi dari penderitaan manusia
dan neraka. Jembatan kecil adalah simbol dari tumimbal lahir; melalui lingkaran
kematian dan kelahiran kembali menuju keadaan yang terbebas dari penderitaan. Dan
jalan menuju kebahagiaan adalah dengan meninggalkan godaan nafsu dan
keserakahan.
Keseluruhan tema dari Wat Rong Khun merupakan pesan simbolis; melepaskan
diri dari nafsu dan keserakahan, menuju pencerahan melalui ajaran Buddha.
Setelah
melalui jembatan tumimbal lahir serta penderitaan (saat itu saya merasa
menderita karena udara yang panas dan matahari yang begitu terik, sehingga saya
merasa terpanggang di atas jembatan), sampailah kami di Pintu Gerbang Surga (The Gate of Heaven). Jalan mulai
sedikit lebar, di kiri kanan terdapat dua patung penjaga. Bayangan patung dan
ornamen pada dinding kiri kanan jalan membuat suasana sedikit teduh. Saya
berjalan sedikit ke pinggir, berlindung pada bayangan. Ternyata ini bukan
sekedar simbol atau analogi, tetapi setelah melewati ‘neraka’ tadi, saya bisa
sedikit menarik nafas lega.
Akhirnya
kami memasuki bangunan utama. Di dalam ruangan ini kami dilarang mengambil
gambar. Perbedaan suhu antara di luar tadi dengan di dalam ruangan sangat
terasa. Mungkin inilah yang disebut tercerahkan; saat penderitaan hilang, saya
merasa kembali utuh setelah tadi sempat tercerai berai meleleh di luar. Di
tengah ruangan seorang bikkhu sedang bermeditasi. Sama sekali tidak terusik
oleh kami para turis. Beberapa orang beranjali, memberi hormat.
Saya
melihat ke sekeliling, ke langit-langit. Di atas pintu masuk, dekat ke
langit-langit, tampak lukisan Buddha dengan wajah tenangnya dalam posisi
meditasi. Yang unik, pada dinding bangunan utama ini terdapat gambar-gambar
kartun seperti Pokemon, Hello Kitty, dan Super Heroes. Menurut informasi yang
saya dengar, ini bertujuan supaya anak-anak juga mau datang ke sini untuk
belajar.
Di
ujung ruangan terdapat pintu keluar. Kami kembali mengenakan sepatu dan
berjalan ke bagian belakang kuil. Di sini terdapat koridor panjang dengan
desain langit-langit berbentuk daun-daun kecil yang transparan. Lalu ada sebuah
aula besar dengan lukisan raja Thailand pada seluruh dindingnya. Di area ini
juga terdapat toilet. Barangkali toilet di sini adalah toilet yang paling unik.
Disebut juga sebagai Happy Room,
exterior bangunannya berwarna gold
atau emas. Juga terdapat lukisan pada dinding luarnya.
Mengapa
disebut Happy Room? Apakah Anda bahagia ketika berhasil memenuhi ‘panggilan
alam’ (natural calling)? Tentu.
Tetapi ini belumlah murni, artinya, bukan kebahagiaan yang tertinggi (ultimate). Kebahagiaan yang ultimit
adalah ketika kita berhasil mencapai kemurnian, purity, seperti yang disimbolkan dengan warna putih. Karena itulah
warna bangunan Happy Room berbeda
dengan warna bangunan kuil. Ia berwarna emas yang berkesan mewah, yang sifatnya
masih duniawi.
Koridor
di halaman belakang White Temple.
|
Langit-langit
koridor, berbentuk seperti daun transparan.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar