Kamis, 15 Februari 2018

BLUE TEMPLE



Cuma lima menit waktu yang kami miliki di Blue Temple. Untungnya kuil ini tidak besar. Dengan singkatnya waktu, saya merasakan tiap detik adalah berharga. Begitu mobil van berhenti, kami segera turun menghambur menuju bangunan cantik berwarna biru itu. Hampir seluruh ornamen kuil yang terletak di Chiang Rai ini, berwarna biru. Beberapa hiasan pada dindingnya mirip dengan hiasan pada dinding rumah adat di Indonesia.


Di depan pintu masuk, terdapat tangga landai yang di kiri kanannya terdapat sepasang naga berwarna biru. Ornamen naga ini begitu detail, ketika didekati kita bisa melihat dan merasakan sisik pada tubuh naga tersebut. Temple ini termasuk mungil, hanya terdiri dari satu ruangan. Ketika saya berdiri di depan pintu, pandangan saya langsung tertuju pada sebuah rupang Buddha berwarna putih. Rupang Buddha ini sungguh besar, sehingga seolah memenuhi dan mengisi seluruh ruangan yang tak seberapa besar itu. Entah rupang tersebut mengandung fluorosens atau apa, tetapi saya seperti melihat rupang Buddha yang sedang tersenyum itu seperti bersinar.




Pemandangan dari pintu masuk, seluruh interior didominasi warna biru. Seluruhnya begitu terawat dan bersih. Malah, di depan pintu ada seorang wanita yang berjalan mondar-mandir sambil membawa sapu dan tempat sampah. Sebentar-sebentar ia menyapu lantai. Padahal, tak nampak ada sampah sama sekali. Bahkan di halaman dan area parkir, tak satupun terdapat sampah.








Blue Temple, atau nama lokalnya Wat Rong Suea Ten, terletak di Suea Ten, distrik Rimkok, beberapa kilometer di luar kota Chiang Rai. Suea Ten, artinya adalah harimau yang menari (dancing tiger). Dulunya, di tempat ini banyak harimau yang melompat menyeberangi sungai.

Kuil ini dibangun tahun 1996, di atas reruntuhan kuil yang berasal dari sekitar 80 – 100 tahun yang lalu. Konstruksinya dibuat pada bulan Oktober 2005, sedangkan rupang Buddha putih selesai dibuat pada tahun 2008. Bangunan utama baru selesai pada 22 Januari 2016. Jadi belum ada dua tahun ketika saya menginjakkan kaki di Blue Temple.


Halaman kuil lebih kental nuansa mitologi, mungkin mitologi Buddhis atau Hindu, atau keduanya. Tepat di depan bangunan utama, berdiri sebuah patung, berkepala manusia dan bertubuh burung. Kalau saya tidak salah, makhluk ini ada di dalam mitologi buddhis. Di tengah-tengah area parkir, terdapat sebuah kolam yang dihiasi patung manusia setengah ular yang beranjali di keempat sisinya, seolah memberi hormat di keempat arah angin. Sebelum memasuki halaman kita juga dapat melihat sebuah patung raksasa, setengah manusia dan setengah ular, berwarna biru, dengan tinggi mungkin sekitar 10 meter. Ia seperti memegang sebuah telur pada tangan kirinya.






Benar kata Sarah, Blue Temple memang sangat indah. Saya rasa di Chiang Rai ini banyak terdapat seniman yang luar biasa, yang sentuhannya menghiasi bangunan-bangunan temple di kota ini dengan berbagai warna. White Temple, Black House, dan Blue Temple

Waktu kami sudah habis. Masih ada beberapa tempat lagi yang akan kami kunjungi, termasuk acara makan siang. Makhluk berbentuk manusia setengah ular itu semakin lama semakin mengecil. Hingga akhirnya benar-benar hilang dari pandangan, seiring dengan mobil kami yang melaju meninggalkan Blue Temple.




Referensi :

Dokumentasi pribadi

https://www.thailandee.com/en/visit-thailand/wat-rong-suea-ten-blue-temple-chiang-rai-304











Kamis, 01 Februari 2018

WAT RONG KHUN, TEMPLE OF PURITY


Hari kedua di Chiang Mai. Pada hari ini kami mengikuti tur ke kota Chiang Rai. Ada beberapa tempat yang akan kami kunjungi di Chiang Rai, salah satunya adalah White Temple atau sebutannya dalam bahasa Thailand, Wat Rong Khun. Wat berarti temple atau kuil, Rong artinya putih. Saya tidak tahu persis apa arti Khun. Biasanya diletakkan di depan nama seseorang sebagai sebutan penghormatan, misalnya Khun Danai Chanchaochai.

Pemandu kami yang bernama Sarah, menjemput kami di hotel tepat pada waktunya, 7.30 pagi. Saat itu kami baru saja selesai sarapan. Kami menginap di Hotel De Rachamanka, yang sekarang telah berubah nama menjadi Hotel Panna. Hotel ini tidak besar. Ruang makan berfungsi juga sebagai lobby, sehingga kami bisa sarapan sambil memperhatikan para bikkhu yang sedang berpindapatta pagi itu, lewat di depan hotel.

Mereka membawa mangkuk kayu, berjalan dengan bertelanjang kaki menyusuri jalan Rachamanka. Beberapa dari mereka masih sangat muda, bahkan masih anak-anak. Mereka adalah samanera atau calon bikkhu. Seorang ibu berdana makanan kepada salah seorang bikkhu tepat di depan hotel. Bersikap sebagai seorang turis yang sopan, saya berusaha untuk tidak mengambil gambar bikkhu tersebut yang sedang berdoa. Seorang samanera muda sempat menengok ke arah lobby, saat saya sedang asyik mengamati. Tak berapa lama, muncul seekor tupai berjalan dan berakrobat di kabel listrik di depan hotel. Suasana pagi itu terasa tenang dan damai. 


   Suasana Jalan Rachamanka, Chiang Mai. Jalan ini tergolong sepi dari lalu lalang kendaraan.

               
 Hotel De Rachamanka (sekarang Panna Hotel).

                                           
Mobil van yang menjemput kami tiba, dan ternyata kami adalah yang terakhir dijemput. Turis yang lain adalah pasangan suami istri dari Hongkong, tiga orang wanita dari Prancis, seorang pria dari Spanyol, dan seorang wanita dari Brazil. Kami langsung menuju kota Chiang Rai.

Chiang Rai berjarak sekitar 190 Km dari kota Chiang Mai. Kami membutuhkan waktu kurang lebih 3 jam untuk sampai ke sana. Sarah, tour guide kami, sangat ramah. Ia juga sangat informatif. Di jalan ia bercerita pada kami tentang sejarah singkat kota Chiang Mai. Nama Chiang Rai yang mirip dengan Chiang Mai, menurutnya, karena dulu Chiang Rai merupakan ibukota kerajaan Lanna (Chiang Mai termasuk ke dalam wilayah Kerajaan Lanna).

Kami berhenti sebentar di sebuah sumber air panas kecil sebelum mengunjungi White Temple. Setelah beristirahat sebentar dan melihat-lihat sumber air panas, kami melanjutkan perjalanan.

Hot Spring (sumber air panas). Bau belerang terasa menyengat ketika kami berada di sini. 

               


Kios-kios penjualan souvenir di sumber air panas.



Tak berapa lama kemudian, kami sampai di White Temple. Dari kejauhan tampak berdiri bangunan putih berbentuk unik. Seluruh bangunan kuil ini berwarna putih, dari bawah hingga ke atas, sehingga seolah-olah terbuat dari salju. Begitu putih, begitu bersih; saya merasakan hawa sejuk hanya dengan memandangnya, padahal cuaca saat itu sangat terik. 

Langit yang cerah, warna birunya kontras melingkupi bangunan. Bentuk naga di atap bangunan seolah seperti lengan-lengan yang menggapai langit. Sebuah kolam yang berada di depan kuil memantulkan bayangannya, mengingatkan saya pada sebuah lukisan Zen. Semua ini, beserta hamparan rumput hijau di sekitar bangunan temple,  memberikan kesan seakan kita tak lagi berada di bumi.

Di pintu masuk, saat menyerahkan tiket kami diberi kantung plastik oleh petugas. Gunanya untuk membawa sepatu kami, karena di dalam White Temple alas kaki wajib dilepas. Dua buah lonceng berada di kiri dan kanan gerbang. Siapapun boleh membunyikannya.



Pada akhir abad ke 20, kondisi asli Wat Rong Khun sangat memprihatinkan. Adalah Ajarn Chalermchai Kositpipat, seorang seniman kelahiran Chiang Rai, yang mendesain dan membiayai sendiri pembangunan serta renovasi kuil tersebut. Ajarn Kositpipat membangun dengan tujuan, agar tempat ini dapat dijadikan tempat belajar dan meditasi, sehingga orang dapat memperoleh manfaat dari ajaran Buddha. Tentu saja, terbuka pula untuk turis yang ingin melihat langsung keindahan arsitektur White Temple.

Keseluruhan struktur serta bentuk White Temple merupakan simbol-simbol yang memiliki arti. Tidak seperti kebanyakan kuil di Thailand yang berwarna emas, Wat Rong Khun berwarna putih dan juga terdiri dari potongan kaca. Warna putih sebagai simbol dari kemurnian, dan kaca merupakan simbol Dhamma atau ajaran Buddha.

Kalau diperhatikan, atap kuil ini terdiri dari tiga susun. Dekorasi naga yang mencuat dan menjulang itu menjadikan penampakan kuil ini sangat menakjubkan dilihat dari kejauhan.


Untuk memasuki White Temple, kita harus melewati sebuah jembatan kecil, yang hanya dapat dilalui oleh satu orang. Di bawah jembatan kita dapat melihat ratusan tangan yang menggapai, tampak menyedihkan, seolah hendak meraih sesuatu. Ini merupakan simbol dari nafsu (desire). Area ini merupakan representasi dari penderitaan manusia dan neraka. Jembatan kecil adalah simbol dari tumimbal lahir; melalui lingkaran kematian dan kelahiran kembali menuju keadaan yang terbebas dari penderitaan. Dan jalan menuju kebahagiaan adalah dengan meninggalkan godaan nafsu dan keserakahan.

Keseluruhan tema dari Wat Rong Khun merupakan pesan simbolis; melepaskan diri dari nafsu dan keserakahan, menuju pencerahan melalui ajaran Buddha.

Setelah melalui jembatan tumimbal lahir serta penderitaan (saat itu saya merasa menderita karena udara yang panas dan matahari yang begitu terik, sehingga saya merasa terpanggang di atas jembatan), sampailah kami di Pintu Gerbang Surga (The Gate of Heaven). Jalan mulai sedikit lebar, di kiri kanan terdapat dua patung penjaga. Bayangan patung dan ornamen pada dinding kiri kanan jalan membuat suasana sedikit teduh. Saya berjalan sedikit ke pinggir, berlindung pada bayangan. Ternyata ini bukan sekedar simbol atau analogi, tetapi setelah melewati ‘neraka’ tadi, saya bisa sedikit menarik nafas lega. 


Akhirnya kami memasuki bangunan utama. Di dalam ruangan ini kami dilarang mengambil gambar. Perbedaan suhu antara di luar tadi dengan di dalam ruangan sangat terasa. Mungkin inilah yang disebut tercerahkan; saat penderitaan hilang, saya merasa kembali utuh setelah tadi sempat tercerai berai meleleh di luar. Di tengah ruangan seorang bikkhu sedang bermeditasi. Sama sekali tidak terusik oleh kami para turis. Beberapa orang beranjali, memberi hormat.

Saya melihat ke sekeliling, ke langit-langit. Di atas pintu masuk, dekat ke langit-langit, tampak lukisan Buddha dengan wajah tenangnya dalam posisi meditasi. Yang unik, pada dinding bangunan utama ini terdapat gambar-gambar kartun seperti Pokemon, Hello Kitty, dan Super Heroes. Menurut informasi yang saya dengar, ini bertujuan supaya anak-anak juga mau datang ke sini untuk belajar.

Di ujung ruangan terdapat pintu keluar. Kami kembali mengenakan sepatu dan berjalan ke bagian belakang kuil. Di sini terdapat koridor panjang dengan desain langit-langit berbentuk daun-daun kecil yang transparan. Lalu ada sebuah aula besar dengan lukisan raja Thailand pada seluruh dindingnya. Di area ini juga terdapat toilet. Barangkali toilet di sini adalah toilet yang paling unik. Disebut juga sebagai Happy Room, exterior bangunannya berwarna gold atau emas. Juga terdapat lukisan pada dinding luarnya.

Mengapa disebut Happy Room? Apakah Anda bahagia ketika berhasil memenuhi ‘panggilan alam’ (natural calling)? Tentu. Tetapi ini belumlah murni, artinya, bukan kebahagiaan yang tertinggi (ultimate). Kebahagiaan yang ultimit adalah ketika kita berhasil mencapai kemurnian, purity, seperti yang disimbolkan dengan warna putih. Karena itulah warna bangunan Happy Room berbeda dengan warna bangunan kuil. Ia berwarna emas yang berkesan mewah, yang sifatnya masih duniawi.

        Koridor di halaman belakang White Temple.






Langit-langit koridor, berbentuk seperti daun transparan.






                                                    Happy Room


                                     Dinding luar Happy Room (Toilet).

30 Baht Untuk Sebuah Harapan
Di depan ruang besar (hall) ada dua buah pohon dengan batangnya berwarna putih, berdaun kecil transparan dan bentuknya yang bersusun. Di salah satu pohon tergantung benda-benda berwarna perak. Benda-benda itu memantulkan cahaya matahari, sehingga tampak berkilauan. Penasaran, saya mendekati ‘pohon’ tersebut. Rupanya benda-benda perak itu berisi harapan atau keinginan yang ditulis oleh orang-orang, dan digantungkan di sana. Untuk mendapatkannya, kita harus mengeluarkan 30 baht (sekitar Rp. 13.000) di loket tidak jauh dari ‘pohon’ itu. Bentuknya mirip gantungan di kaca spion mobil atau gantungan hp berukuran raksasa. Di atasnya kita menuliskan harapan. Tidak bisa panjang, karena spacenya sedikit. Jadi mungkin, hanya bisa satu harapan. 30 baht untuk sebuah harapan. Tidak lebih.

Karena pohon itu berisi harapan-harapan, maka saya menyebutnya The Trees of Wishes (Pohon Harapan).



The Tree of Wishes, pohon harapan. Bentuknya merupakan ciri khas arsitektur bagian utara Thailand (Northern Thailand); mungkin bentuk ini sudah ada sejak jaman Kerajaan Lanna.

                                  Bangunan hall, diapit oleh pohon harapan.


                                              Patung Buddha di depan hall.

Hall besar dengan bangku-bangku, beberapa turis nampak sedang beristirahat di sini.



                                Lukisan keluarga kerajaan pada dinding hall.

Waktunya berkumpul di tempat yang sudah ditentukan oleh Sarah sebelum masuk White Temple tadi. Dari kejauhan saya melihat pemandu kami itu dan beberapa  turis dari grup kami sudah berdiri menunggu. Masih ada beberapa menit, saya menyempatkan diri membeli minuman dingin bersoda. Sambil berdiri di belakang Sarah, saya membuka botol minuman dan meneguknya. Terasa menyegarkan, saya bisa merasakan soda seperti ratusan semut yang sedang berjalan di dalam mulut. Terasa di lidah, langit-langit, terus turun melewati kerongkongan. Dinginnya mengalir memberikan energi baru. Benar juga, kita baru bisa mengapresiasi minum ketika pernah merasakan haus. Kita baru bisa merasakan bahagia, ketika kita pernah menderita (duka). Setidaknya, menderita kepanasan seperti tadi.

Masih ada dua orang yang belum hadir, pasangan suami istri dari Hongkong. Sambil menunggu, saya bertanya pada Sarah apa fungsi lonceng di samping gerbang tadi. Sarah menjelaskan, para bikkhu di monastery biasa membunyikan lonceng untuk menandai sesuatu. Misalnya untuk memulai kegiatan, menandai waktu, atau memulai meditasi. Belum lama ini seorang bhante dari tradisi Plum Village yang didirikan oleh master Zen Thich Nath Hanh bercerita bahwa di Plum Village, ada sebuah jam yang berdentang setiap 15 menit sekali. Bunyi lonceng atau jam dapat mengembalikan pikiran kita yang tadinya mengembara ke mana-mana. Inilah yang disebut meditasi. Pikiran dan tubuh bersatu (mindful).

Menit-menit berlalu, kami masih menunggu karena pasangan suami istri dari Hongkong masih belum muncul. Sarah mulai gelisah, karena seharusnya kami sudah berangkat menuju tempat berikutnya. Setelah 15 menit, akhirnya Sarah meminta kami untuk menunggu di dalam mobil saja, sementara dia akan mencari mereka. Kami berbondong-bondong menuju mobil. Dan ketika teman kami dari Prancis membuka pintu mobil, .... voila! Suami istri itu sudah duduk manis di dalam. Sementara kami semua menunggu di luar berpanas-panas, mereka duduk tenang-tenang di dalam mobil berAC...

Dengan susah payah teman kami itu berbicara kepada pengemudi van agar ia  mencari Sarah. Susah payah, karena pengemudi tidak bisa berbahasa Inggris. Setengah bahasa verbal dan setengah lagi bahasa isyarat, akhirnya si pengemudi mengerti dan berlari menyusul Sarah. Kami menunggu dan bertanya-tanya, kira-kira bagaimana reaksi Sarah nanti.

Ketika Sarah muncul, seperti diberi komando kami semua menatap pemandu tur yang cantik itu. Ia mengenakan sun glasses, menutupi sebagian wajahnya yang licin seperti lilin. Langkahnya cepat, langsung menuju pasangan suami istri dari Hongkong itu. Dia cuma berkata singkat dengan nada dingin,
“I was waiting for you.” Lalu menutup pintu mobil. Kami semua berpandangan, menarik nafas lega. Apa yang kami khawatirkan, bahwa Sarah akan marah-marah, tidak terjadi. 

Mobil bergerak meninggalkan White Temple. Sarah kembali ceria. Ia mengatakan, tujuan kami berikutnya tidak kalah indah dan menarik. Hanya saja, berbeda warna. Kami segera menuju...Blue Temple.



Keterangan :
Bikkhu
biksu

Pindapatta :
pengumpulan dana makanan dengan cara berkeliling ke rumah-rumah                          penduduk dengan membawa mangkuk

Ajarn :
profesor, guru 

Anjali :
sikap hormat dengan cara mengatupkan kedua tangan di depan dada

Tumimbal lahir :
proses kelahiran jasmani dan batin baru yang timbul akibat adanya kekuatan kamma (perbuatan). Ini berbeda dengan konsep reinkarnasi

Bhante :
panggilan kepada bikkhu




Referensi :

Dokumentasi pribadi