Sabtu, 22 Desember 2018

Cincin Gyges vs Cincin Tolkien


Apakah kisah Lord of The Ring dan The Hobbit karya J. R.R Tolkien terpengaruh oleh Buddhisme, ataukah memang karena sesungguhnya Dharma ada di mana-mana?

Menyaksikan film Lord of The Ring trilogy dan The Hobbit trilogy, rasanya seperti tak asing. Selama ini yang dikenal sebagai film yang amat sangat dipengaruhi oleh Zen Buddhisme adalah Star Wars. Tetapi saat menyimak kisah LOTR, sesuatu Nampak jelas di sana. Cerita fantasi ini mengandung Dharma. Tersirat pesan spiritual terkandung di dalamnya.

Ide yang mengilhami Tolkien mengenai cincin adalah cerita yang ditulis Plato berjudul Ring of Gyges. Dalam bukunya The Republic, Plato menulis tentang Glaukon, seorang tokoh yang mendukung Thrasymakos (seorang dari kaum Sofis*). Dukungan Glaukon kepada argumentasi Thrasymakos yang memiliki pandangan pesimis terhadap manusia, dituangkan dalam kisah Ring of Gyges.


Plato dan Aristoteles
(https://bearskin.org/2015/09/11/the-ring-of-gyges/)

Gyges adalah seorang gembala, yang pada suatu hari, saat sedang menggembalakan ternaknya, ia menemukan seorang raksasa mati di sebuah lembah. Raksasa itu mengenakan sebuah cincin. Gyges mengambil cincin itu, dan mengenakannya di jarinya.

Suatu ketika raja mengumpulkan rakyatnya dalam sebuah pertemuan. Gyges juga hadir. Sambil mendengarkan raja berbicara, ia bermain-main dengan cincinnya dengan cara memutarnya. Ketika cincin itu berputar menghadap ke dalam, ia mendengar teman-temannya berkata,”Di mana Gyges? Ia tidak ada!” Lalu ia memutar lagi cincinnya menghadap keluar. Saat itu teman-temannya dapat kembali melihatnya.

Peristiwa itu menyadarkan Gyges akan kekuatan cincin tersebut. Ia dapat menghilang, tak terlihat. Dengan kekuatannya itulah ia lalu mengikuti permaisuri raja ke kamar tidurnya. Dalam kamar ratu, ia memperlihatkan diri. Ia memberikan sebuah penawaran. Ia berkata, “Wahai Ratu, saya mempunyai sebuah kekuatan. Maukah kau menikah dengan saya?” Sang ratu bersedia, dan lalu mereka membunuh raja dengan mudah, karena Gyges tak terlihat. Setelah itu, Gyges menjadi raja.

Dalam kisah Ring of Gyges Glaukon meneruskan pandangan pesimis Thrasymakos terhadap manusia. Menurutnya, sejauh tidak diketahui siapa-siapa, manusia menyukai apa yang tidak adil (melakukan ketidakadilan). Menurut Glaukon tidak ada satu orangpun yang berniat sungguh-sungguh hidup adil. (Jika ada satu lagi cincin seperti yang dimiliki Gyges, dan dikenakan oleh orang yang baik, tidak ada jaminan orang tersebut tidak akan melakukan hal yang sama dengan yang diperbuat Gyges).  

Kaum Sofis dalam masa kejayaan Athena adalah kaum yang amat ditentang oleh Socrates, Plato dan Aristoteles. Sofisme, bagi Plato, adalah musuh filsafat. Kaum sofis tidak mempercayai adanya kebenaran. Mereka adalah orang-orang yang pintar, dan menggunakan kepintarannya dalam berargumentasi untuk memutarbalikkan fakta. Sesuatu yang benar menjadi salah, dan yang salah menjadi benar. Gawatnya lagi, mereka mendirikan sekolah-sekolah yang mengajarkan retorika dengan cara mereka, dan menarik bayaran yang tinggi. Retorika yang mereka ajarkan berbeda dengan yang diajarkan oleh Plato dan Aristoteles. Retorika kaum sofis adalah tentang bagaimana cara memenangkan argumentasi, bukan untuk mencari kebenaran.

Kisah Ring of Gyges diungkapkan Glaukon untuk mematahkan pendapat Plato tentang mengapa manusia harus berbuat adil (berbuat baik, hidup berkeutamaan). Bukankah Gyges mendapatkan keuntungan (menjadi raja) dengan ketidakadilannya?

Jika mereka terpojok dalam perdebatan, mereka akan menyerang hal-hal yang bahkan tidak ada hubungannya dengan topik. Misalnya mereka akan menyerang dari sisi keturunan lawan bicaranya, bangsa, ras, dan sebagainya.

Dari Glaukon ke Tolkien 
Jika Gyges pada akhirnya naik tahta dengan membunuh raja berkat cincin yang membuatnya tak terlihat, kisah dalam buku Lord of The Ring karya John Ronald Reuel Tolkien (3 Januari 1892 – 2 September 1973) punya alur berbeda. Tolkien, seorang penyair, philologist asal Inggris dan seorang pemeluk Katolik yang taat, terinspirasi oleh kisah Ring of Gyges. Tolkien mengatakan bahwa kisah Lord of The Ring adalah kisah yang religious. Lewat LOTR ia seperti membantah anggapan Glaukon bahwa tak ada keadilan atau kebaikan dalam diri manusia. Unsur religious terserap di dalam cerita dan symbol-simbol dalam novel fantasi ini.


Lord of The Ring
(https://www.esquire.com/entertainment/tv/a13529805/lord-of-the-rings-series-amazon-details/)

Saya sendiri melihat cerita LOTR resonan dengan konsep buddhisme. Pertama adalah kemelekatan pada sesuatu akan membawa penderitaan. Setiap orang yang ingin memiliki cincin tersebut, akan menderita. Cincin itu bagi saya adalah symbol segala sesuatu yang ingin kita miliki dan kita lekati, seperti kekayaan, popularitas, jabatan atau seseorang, bahkan konsep. Ketika seseorang sudah dipenuhi oleh nafsu untuk memiliki dan menggenggam, ia bagai kena sihir, buta, bahkan menjadi gila.

Dalam kenyataannya, orang sering tunduk pada nafsunya, dan tak juga sadar meski sesungguhnya ia sangat menderita dan mengakibatkan penderitaan orang lain. Gollum adalah sebuah metaphor untuk hal ini. Dan meskipun Tolkien mengatakan bahwa LOTR dipengaruhi oleh konsep pemikiran Katolik, namun di dalamnya juga terdapat reinkarnasi (Gandalf yang kembali dari kematian dan menjadi penyihir putih, serta Smeagul yang berubah dari hobbit menjadi Gollum, makhluk buruk rupa dan menyedihkan sebagai akibat dari membunuh saudaranya). – Ini merupakan hukum sebab akibat. Sedangkan Gandalf mengingatkan saya pada Bodhisattva.

Perjalanan Spiritual
Perjalanan Frodo Baggins membawa cincin untuk dimusnahkan diibaratkan sebagai perjalanan spiritual. Ia melakukan perjalanan bukan untuk mendapatkan sesuatu, tetapi untuk MELEPAS sesuatu. Frodo melakukan perjalanan bukan untuk menemukan harta karun atau ketenaran. Saat kembali ke Shire setelah memusnahkan cincin, tak ada orang yang mengelu-elukannya. Perjalanannya tidak untuk menjadikannya seorang pahlawan. Ia semata-mata hanya merespon untuk menolong kehidupan di Middle earth yang sudah dikepung oleh kekuatan Sauron yang semakin lama semakin besar. Tidakkah kita mengenali Middle earth sebagai dunia kita saat ini?

Sauron Dalam Diri Kita
Sauron dikatakan tak berwujud, tak berbentuk; ia abstrak sekaligus nyata. Ia ada dalam diri kita. Dalam LOTR Sauron disimbolkan sebagai mata (The Eye). The Eye = ‘I’, atau aku (Ego). Jika kita tidak memiliki kesadaran, kita tetap hidup dengan melekati segala sesuatu, ego kita akan semakin besar. Keserakahan, kebencian, kesombongan, perlahan merasuki diri kita. Jika dibiarkan, kekuatannya semakin lama akan semakin besar. Kita akan dikuasai oleh ego. Apa akibatnya? Kerusakan dan penderitaan. Tidakkah itu memang terjadi dalam dunia kita saat ini? Peperangan, penindasan, kerusakan alam, pembabatan hutan besar-besaran (Tolkien menyiratkan kebenciannya pada efek samping industrialisasi dalam LOTR), dan ketimpangan sosial terjadi di mana-mana. Bahkan, untuk skala kecil, adalah konflik dalam keluarga. Dalam The Hobbit (Battle of 5 Armies), masalah bukan disebabkan oleh Smaug, naga penjaga harta karun. Masalah dan peperangan timbul justru dari keserakahan untuk menguasai emas. Yang artinya, penderitaan tidak disebabkan oleh faktor eksternal, sesuatu di luar diri kita. Melainkan berasal dari dalam diri kita sendiri. Sauron hanya bisa dilenyapkan dengan cara belajar melepas.

Pemikiran Yang Non Dualistik
David Loy, seorang guru Zen berpendapat bahwa cerita Lord of The Ring adalah sangat dualistik; kebaikan melawan keburukan/kejahatan. Bahwa Orc harus dimusnahkan sampai tuntas. Satu-satunya kebaikan Orc adalah kematiannya. Saya tidak sependapat. Dalam LOTR tersirat bahwa kebaikan tak dapat dipisahkan dengan keburukan. Dimana ada kebaikan, di situ ada keburukan. Di mana ada keburukan, di situ ada kebaikan. Keduanya ibarat dua sisi koin yang tak dapat dipisahkan. Ini menunjukkan pemikiran yang non dualistik. (CMIIW)

Bersatunya manusia, elf, kurcaci, penyihir, pohon dan hobbit untuk memusnahkan cincin dan melenyapkan kekuatan Sauron dari Middle earth adalah symbol bahwa kita semua adalah bagian dari alam. Kita tak dapat dipisahkan dari alam tempat kita berdiam. Masing-masing dari kita memiliki tanggung jawab. Ini juga merupakan pemikiran yang non dualistik. Bahwa aku dan orang lain adalah satu, tak ada aku vs liyan. Manusia, elf, hobbit, dan kurcaci adalah satu. Segala sesuatu, saling berhubungan.

Selama kita masih memiliki pemikiran yang dualistik, kita tak akan pernah terbebas dari penderitaan. Kita menjadi tidak inklusif, tertutup, egois dan berpotensi menimbulkan konflik. Kita bahkan mungkin akan menjadi kaum Sofis yang demi uang dan kekayaan, menghalalkan segala cara dalam argumentasi (pada jaman Plato).

Dalam hal pemikiran non dualistik, judul tulisan ini juga menjadi kurang tepat; Cincin Gyges vs Cincin Tolkien. Sebab tanpa Glaukon yang mengisahkan cincin Giges, barangkali Tolkien tak akan membuat kisah Lord of The Ring yang novel maupun filmnya mampu menghibur sekaligus menginspirasi dengan pesan spiritualnya. Saya rasa judul yang tepat adalah, seperti yang ditulis David Loy : THE DHARMA OF THE RINGS (CINCIN DHARMA).




Sumber :
Kelas Filsafat Salihara; Sejarah Filsafat Yunani : Sofisme, oleh Romo A. Setyo Wibowo (dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara)
Makalah Pengantar Sejarah Filsafat Yunani : Sofisme, oleh Romo A. Setyo Wibowo
https://bearskin.org/2015/09/11/the-ring-of-gyges/
https://www.esquire.com/entertainment/tv/a13529805/lord-of-the-rings-series-amazon-details/



  


     Sofisme merujuk pada aliran filsafat dan Retorika pada periode Yunani Klasik dan Hellenistik, yang dalam pandangan umum dianggap mengajarkan Relativisme moral dan cara berargumentasi yang tampaknya masuk akal namun fallacious (keliru).








Tidak ada komentar:

Posting Komentar