Kamis, 25 Januari 2018

Jembatan Sungai Kwai, Jembatan Rekonsiliasi

Nama Kanchanaburi di Thailand dulu tak banyak dikenal orang. Padahal, tempat ini termasuk salah satu tempat bersejarah, karena di propinsi tersebut pada tahun 1940an, Jepang pernah membuat sebuah proyek pembangunan rel kereta api sejauh kurang lebih 200 kilometer. Pada masa Perang Dunia II, Jepang menggunakan negara merdeka Thailand sebagai basis untuk menyerang Inggris di Burma (sekarang Myanmar).
Ini diawali ketika Jepang menyerang Inggris dan Amerika pada bulan Desember 1941, kemudian berencana menggunakan Thailand sebagai basis invasi mereka ke Malaya dan Burma. Jepang bekerjasama dengan Perdana Menteri Thailand ambisius yang juga seorang diktator saat itu, Phibun Songkhram.

Perdana Menteri Songkhram setuju untuk memberi jalan dan wilayahnya bagi serdadu Jepang, dan pada akhirnya Thailand menjadi sekutu pertama Jepang di Asia. Kanchanaburi terpilih sebagai basis Jepang karena propinsi ini letaknya berbatasan dengan Burma. Di sini pula mengalir sungai yang indah, Sungai Kwai, atau Khwae Noi dalam bahasa Thailand, yang artinya sungai kecil. Jepang membangun jembatan di atas sungai ini untuk menghubungkan Kanchanaburi dengan Burma.

Untuk mengangkut keperluan logistik dan senjata bagi serdadu Jepang, dibangunlah rel kereta api dari Kanchanaburi menuju Burma. Tentu saja, para pekerja yang membangun jembatan dan rel kereta api bukanlah orang-orang Jepang, melainkan para tawanan perang yang berasal dari Inggris, Amerika, Belanda, Australia, Burma dan India. Kondisi para tawanan itu sangat mengerikan. Mereka menderita kelaparan, serangan penyakit, kelelahan, serta harus bekerja menghadapi medan berat menembus hutan belantara dan tebing batu untuk membuat jalur kereta. Belum lagi penyiksaan yang dilakukan oleh tentara Jepang membuat sekitar 12.500 orang serdadu tawanan dan lebih dari 85.000 pekerja Asia tewas. Karena banyaknya korban ini, jalur tersebut dijuluki sebagai The Death Railway.

Namun, nama Kanchanaburi beserta Sungai dan Jembatan Kwai baru terdengar di dunia internasional setelah pada tahun 1957, Amerika membuat film yang berjudul Bridge On The River Kwai, yang mengisahkan tentang kekejaman Jepang pada masa pembuatan rel kereta api di Kanchanaburi. Film ini meraih 7 Academy Awards pada masa itu untuk kategori film terbaik, sutradara terbaik, aktor terbaik, skenario adaptasi terbaik, sinematografi terbaik, penyuntingan terbaik dan musik terbaik.


Tahun 1995, terbit sebuah autobiografi Eric Lomax, The Railway Man; mantan serdadu asal Scotlandia yang pernah menjadi tawanan Jepang dan membangun rel kereta api di Kanchanaburi. Buku ini menceritakan perjalanan hidup, karir militer, menjadi tawanan dan membangun rel kereta maut di Kanchanaburi, kondisi psikisnya yang mengalami trauma, hingga rekonsiliasi dengan Kempetai yang pernah menawannya. Di tahun yang sama, kisah Lomax diangkat menjadi drama televisi BBC dengan judul Prisoners in Time. Sebuah film adaptasi dibuat tahun 2013 dengan judul The Railway Man, yang dibintangi Colin Firth dan Jeremy Irvine sebagai Lomax tua dan Lomax muda, serta Nicole Kidman.

Kisah Lomax yang luar biasa serta rekonsiliasinya dengan Takashi Nagase, mantan Kempetai yang dulu pernah menawan dan menginterogasinya di ruang penyiksaan, membuat saya ingin mengunjungi Jembatan Sungai Kwai di Kanchanaburi.

Pada bulan November 2017, kami berkesempatan mengikuti tur ke Kanchanaburi. Kami dijemput di hotel dengan mobil van. Grup kami terdiri dari turis asal Amerika, Inggris, Canada, dan Scotlandia. Cuma kami berdua yang berasal dari Asia.

Berangkat pukul 6.30 pagi dari Bangkok, kami menempuh perjalanan sekitar 3 jam sampai Kanchanaburi. Jarak Kanchanaburi kurang lebih 150 km sebelah barat kota Bangkok. Anne, pemandu tur kami mengatakan tempat pertama yang akan dikunjungi adalah museum Perang Dunia II dan Jembatan Sungai Kwai. Setelah itu kami akan mampir ke pemakaman Perang Dunia II, baru setelah itu makan siang. 

JEATH WAR MUSEUM

Museum ini didirikan tahun 1977 oleh kepala temple Wat Chai Chumpong, Ven. Phra Theppanyasuthee. Kata JEATH merupakan akronim dari Japan, English, Australian, American, Thai, dan Holland.

Di depan pintu masuk terdapat lokomotif dan gerbong yang dulu digunakan oleh tentara Jepang untuk mengangkut amunisi dari Thailand ke Burma. 







Suasana mencekam terasa ketika kami memasuki museum. Sebuah diorama raksasa menggambarkan para tawanan yang bekerja paksa membangun rel kereta api dengan tubuh kurus kering, serta raut muka menyiratkan penderitaan yang amat sangat. Di samping mereka berdiri tegak seorang Jepang mengenakan seragam yang mirip dengan Kempetai dalam film The Railway Man.



Pada salah satu diorama itu terdapat gerbong yang digunakan sebagai penjara bagi para tawanan.




Dalam foto ini sebuah kendaraan yang digunakan tentara Jepang untuk mengangkut peralatan bagi pembangunan rel kereta api yang akan menghubungkan “tiga pagoda” – ke Burma dan India, melalui Sungai Kwai.

Pada masa Perang Dunia II, Jepang menggunakan motor ini untuk keperluan jarak pendek, misalnya dari camp ke pasar di Kanchanaburi.

Kapal pengangkut tawanan yang terserang malaria menuju rumah sakit desa di Khao Poon, Kanchanaburi.

Kuil Perdamaian

Setelah mengelilingi ruangan yang berisi diorama, kendaraan pada masa Perang Dunia II, dan helm-helm perang, kami memasuki sebuah ruangan yang berisi artikel dan guntingan koran pada sebuah dinding. Ada sebuah tulisan yang menarik perhatian saya, yaitu tulisan dengan judul Building The River Kwai Peace Temple. Kuil atau temple Perdamaian ini ternyata dibangun oleh Takashi Nagase, mantan penterjemah polisi militer Jepang (Kempetai) yang menginterogasi Eric Lomax. 

Seusai perang, Nagase mencari dan mengumpulkan 13.000 mayat korban kekejaman tentaranya, dan momen itulah yang kemudian mengubah hidupnya. Di Jepang, dia mulai menulis peristiwa mengerikan yang disaksikannya dan mengkritik militer serta kaisar Jepang yang melakukan perang. Nagase membangun monumen-monumen di seluruh Thailand dengan uangnya sendiri, termasuk membangun River Kwai Peace Temple yang berada di dekat Sungai Kwai. 

Sejak 1976, Nagase memprakarsai reuni antara ex tawanan perang dan tentara Jepang, dengan diawasi oleh polisi Thailand.

Every time I visited the Kanchanaburi War Cemetery and spent my time on The River Kwai, I saw the Japanese inhumanity during the war attract tourists, which made me sad.

The movie ‘The Bridge over The River Kwai’ draws people from all over the world. I recent years many visitors have come especially from Southeast Asia. They go home disgusted after seeing the location where their compatriots were brouhgt and forced to work to death. I was embarrassed to see the reality. How I wish people would come to pray for the victims souls, and not just sightseeing. My wish was to build a memorial.

I was wondering if I could build a temple where anybody could pray for the victims of Thai-Burma Railway, and the same time, hoping that Japan will never start war again.



Niat Nagase akhirnya terlaksana, dan bahkan ia kemudian bersahabat dengan Eric Lomax, bekas tawanannya. Ia tahu, tidak mudah bagi Lomax untuk memaafkan. Siapapun yang pernah berada dalam ‘neraka’, tidak mudah untuk memberi maaf.

“I knew he had hated me for 50 years, and I wanted to ask him if he forgave me, but I couldn’t find a way,” says Nagase today. “So I said: ‘Can we be friends?’ and he said, ‘Yes.’  "



Sebuah peti kaca berisi tulang belulang 2 orang korban pada Perang Dunia II. Salah satu akibat konyol dari perang.



Jembatan Sungai Kwai, dilihat dari museum Perang Dunia II. Sebuah kereta yang nantinya akan kami tumpangi melewati jalur Death Railway (jalur kereta api maut), sedang melintas.

                                     Jembatan Sungai Kwai 



Dari museum, kami berjalan menuju jembatan yang fenomenal itu, Jembatan Sungai Kwai. Kalau diperhatikan, jembatan ini memiliki dua bentuk. Pada sisinya ada bentuk yang melengkung dan datar. Bentuk melengkung (Tiger), adalah desain Jepang. Sedangkan yang datar (Cross), merupakan desain Amerika.

Saya berjalan menyusuri jembatan sampai ke seberang sungai. Banyak turis yang juga berada di jembatan itu, ditambah lagi sedang ada perbaikan pada satu sisi jembatan. Saat saya melintasi para pekerja yang sedang membungkuk di atas rel kereta di atas sungai, tiba-tiba saya merasa seperti sedang berjalan di tengah-tengah para serdadu tawanan yang sedang bekerja membuat rel kereta di bawah terik matahari. Saya bisa membayangkan penderitaan mereka. Mungkin ini adalah efek dari museum tadi.

Tempat berikutnya yang kami kunjungi, tidak kalah menyedihkan. World War II Cemetery. Pemakaman ini berada di seberang stasiun Death Railway, yang letaknya agak jauh dari museum dan Jembatan Kwai. Kami naik ke dalam van dan beberapa menit kemudian kami sampai di pemakaman.






Dari World War II Cemetery, tiba waktunya untuk makan siang. Perjalanan menuju restoran cukup jauh, tapi masih tetap berada di Kanchanaburi. Restoran tempat kami makan siang adalah restoran apung, berupa rakit di Sungai Kwai. Cuaca yang tidak begitu panas saat itu sangat mendukung, dan kami dengan bersemangat memperhatikan makanan yang dikeluarkan dan ditata di atas meja panjang. Cara pelayanannya unik, yaitu si pelayan menyendokkan nasi ke piring kami satu per satu.

Kami semua menikmati makan siang kami yang ternyata sangat lezat.  Seorang turis dari Jepang dan pasangan dari India turut bergabung. Kami duduk mengelilingi meja panjang, dengan pelayan yang berdiri siap sedia melayani kebutuhan kami, seperti makan malam para bangsawan dengan pelayan berseragam yang berdiri di belakang kami. Bedanya, pelayan restoran ini tidak mengenakan seragam. Ketika saya perhatikan wajahnya, dia mengingatkan saya pada pemeran film ‘The Gods Must Be Crazy’.

Kami semua terdiri dari 2 orang wanita dari Canada, sepasang suami istri dari Amerika, pasangan Scotlandia, 2 orang perempuan muda dari Inggris, seorang dari Jepang, pasangan muda India, dan kami berdua dari Indonesia.

“Amazing, we are from so many cultures!” kata nyonya dari Amerika dengan penuh semangat. Yang lain menyambut dengan semangat pula. Para turis itu barangkali datang ke sini karena dulu negaranya terlibat langsung dengan peristiwa pembangunan rel kereta api maut. Hanya Indonesia mungkin, yang tidak terlibat langsung dengan peristiwa Kanchanaburi. Meskipun, Indonesia juga merasakan kekejaman Jepang saat mengalami penjajahan.

Mungkin dulu tak akan pernah terbayangkan, orang-orang yang negaranya terlibat dalam perang, bisa berkumpul bersama dalam satu meja, saling berbagi, saling bercerita pengalaman tanpa rasa permusuhan. Saya bertanya-tanya dalam hati, bagaimanakah perasaan turis Jepang itu, saat melihat museum Perang Dunia II dan Jembatan Sungai Kwai? Barangkali sama dengan perasaan Takashi Nagase, seperti yang tertulis di museum tadi. Dia merasa sedih, merasa malu. Dan bagaimanakah pula perasaan turis dari Scotlandia itu, apakah sama dengan Eric Lomax? Apakah dia merasakah dendam dan sakit hati?

Salah satu keluarga dari mereka mungkin adalah pelaku sejarah. Mungkin ada yang saat ini terbaring di pemakaman yang kami kunjungi tadi. Perang selalu meninggalkan bekas luka. Terutama luka psikis dari mereka yang mengalaminya. Dan setiap kali kita melihat kembali sejarah, kita akan selalu berharap, jangan ada lagi perang.

Kitti Raft Restoran, Sungai Kwai. Di tempat yang dulu terjadi pertempuran dalam Perang Dunia II, kini kami dari berbagai bangsa duduk bersama dengan penuh rasa persahabatan.






                               Resort di atas Sungai Kwai, dekat Kitti Raft Restoran

Selesai makan siang kami menuju air terjun Saiyok Noi. Air terjun ini kecil, dan lagi-lagi, ada sebuah lokomotif yang dulu digunakan oleh Jepang. Walaupun kecil, tapi tempat ini amat bersih dan terawat.



                                      Pohonpun memiliki barcode





Naik Kereta Api, tut..tut..tut..Siapa Hendak Turut?

Acara tur kami yang terakhir hari itu adalah naik kereta api melewati jalur Death Railway. Sebelum berangkat menuju stasiun kecil di dekat air terjun, kami membeli kopi di sebuah kedai. Saat menunggu Americano kami dibuat, saya melihat turis Jepang yang makan bersama kami tadi membeli es krim di kedai sebelah. Mungkin sejak tadi orang Jepang ini sudah menarik perhatian saya karena di museum, bangsa Jepang menjadi tokoh antagonis yang kejam. Tapi yang menarik, si turis Jepang tidak hanya membeli es krim untuk dirinya sendiri, tetapi anak-anak yang sedang bermain di sekitar situ mendapat jatah es krim satu-satu. Anak-anak itu adalah penduduk lokal yang tinggal di wilayah ini. Bahkan ketika dia sudah menyeberang bersiap hendak menuju van, dan melihat seorang anak masih belum kebagian es krim, dengan sabar ia kembali menuju kedai sambil menuntun anak itu. Sungguh suatu pemandangan yang indah dan mengharukan.

Kami, termasuk turis Jepang itu naik ke dalam van yang pagi tadi membawa kami dari Bangkok. Pengemudi van mengatakan kami akan segera menuju stasiun, karena sebentar lagi kereta akan berangkat. Kereta api ini adalah kereta lama yang dinding maupun lantainya terbuat dari kayu. Seperti taman nasional dan air terjun tadi, kereta api kuno ini juga sangat bersih dan terawat.




Saat kami sudah berada dalam kereta, sebelum kereta itu bergerak, pemandu wisata berkali-kali memperingatkan kami untuk berhati-hati, tidak mengeluarkan kepala dan tangan saat memotret. Jalur yang akan dilewati penuh dengan pohon, semak belukar dan dinding tebing batu (Hellpass Fire).

                                     Salah satu stasiun yang kami lewati 



Perjalanan kami dimulai. Kereta bergerak di atas rel yang lebih dari 70 tahun lalu memakan ribuan nyawa dalam pembuatannya. Mirip dengan Jalan Raya Pos di Pulau Jawa, yang dibangun atas perintah Gubernur Jenderal Daendels serta dibayar dengan keringat dan darah bangsa kami (Indonesia).

       Sebuah pasak yang berasal dari rel kereta, berusia lebih dari 70 tahun. 




Tempat pertempuran antara tentara Sekutu dan tentara Jepang pada Perang Dunia II












Tebing batu. Bayangkan para tawanan harus memecah dan menembus tebing dengan peralatan yang belum canggih seperti sekarang.



Sekitar satu setengah jam perjalanan kami dengan kereta yang tentu saja berjalan lambat. Di sebuah stasiun, kereta berhenti. Mobil-mobil van kami sudah menunggu untuk membawa kami kembali ke Bangkok.

Eric Lomax menulis dalam biografinya, The Railway Man:

“The Pyramids, that other great engineering disaster, are at least a monument to our love of beauty, as well as to slave labor; the railway is a dead end in the jungle. . . . The line has become literally pointless. It now runs for about 60 miles [100 km] and then stops.” 

Perjalanan kami masih panjang untuk sampai ke Bangkok. Pasangan turis dari India dan Jepang ikut mobil van kami. Hari mulai gelap, dan meskipun lelah, anggota grup kami tidak kehilangan keceriaannya.

Semoga perjalanan kami hari ini dapat memberi pelajaran pada kami akan dampak buruk perang, luka dan penderitaan yang ditimbulkan pada kedua belah pihak, dan pentingnya perdamaian. Dan tidak lupa, peranan rekonsiliasi, memaafkan. Bridge on The River Kwai, tidak hanya memberi inspirasi bagi sebuah karya seni seperti film, tetapi lebih dari itu. Ia menjadi simbol sebuah rekonsiliasi, yang menjembatani antara masa lalu yang traumatis dan masa kini yang penuh damai. Jembatan itu adalah: Memaafkan.

Forgive others not because they deserve forgiveness, but because you deserve peace. ~Buddha~


Sumber :

Reynolds, E. Bruce (2004). Thailand’s Secret War The Free Thai, OSS, and SOE During World War II : Cambridge University Press

Wikipedia




Dokumentasi pribadi




Bridge On The River Kwai (1957) Trailer






                                          The Railway Man Trailer