Nama Kanchanaburi di Thailand
dulu tak banyak dikenal orang. Padahal, tempat ini termasuk salah satu tempat
bersejarah, karena di propinsi tersebut pada tahun 1940an, Jepang pernah
membuat sebuah proyek pembangunan rel kereta api sejauh kurang lebih 200
kilometer. Pada masa Perang Dunia II, Jepang menggunakan negara merdeka
Thailand sebagai basis untuk menyerang Inggris di Burma (sekarang Myanmar).
Ini diawali ketika Jepang
menyerang Inggris dan Amerika pada bulan Desember 1941, kemudian berencana
menggunakan Thailand sebagai basis invasi mereka ke Malaya dan Burma. Jepang
bekerjasama dengan Perdana Menteri Thailand ambisius yang juga seorang diktator
saat itu, Phibun Songkhram.
Perdana Menteri Songkhram
setuju untuk memberi jalan dan wilayahnya bagi serdadu Jepang, dan pada
akhirnya Thailand menjadi sekutu pertama Jepang di Asia. Kanchanaburi terpilih
sebagai basis Jepang karena propinsi ini letaknya berbatasan dengan Burma. Di
sini pula mengalir sungai yang indah, Sungai Kwai, atau Khwae Noi dalam bahasa
Thailand, yang artinya sungai kecil. Jepang membangun jembatan di atas sungai
ini untuk menghubungkan Kanchanaburi dengan Burma.
Untuk mengangkut keperluan
logistik dan senjata bagi serdadu Jepang, dibangunlah rel kereta api dari
Kanchanaburi menuju Burma. Tentu saja, para pekerja yang membangun jembatan dan
rel kereta api bukanlah orang-orang Jepang, melainkan para tawanan perang yang
berasal dari Inggris, Amerika, Belanda, Australia, Burma dan India. Kondisi
para tawanan itu sangat mengerikan. Mereka menderita kelaparan, serangan
penyakit, kelelahan, serta harus bekerja menghadapi medan berat menembus hutan
belantara dan tebing batu untuk membuat jalur kereta. Belum lagi penyiksaan
yang dilakukan oleh tentara Jepang membuat sekitar 12.500 orang serdadu tawanan
dan lebih dari 85.000 pekerja Asia tewas. Karena banyaknya korban ini, jalur
tersebut dijuluki sebagai The Death
Railway.
Namun, nama Kanchanaburi
beserta Sungai dan Jembatan Kwai baru terdengar di dunia internasional setelah
pada tahun 1957, Amerika membuat film yang berjudul Bridge On The River Kwai,
yang mengisahkan tentang kekejaman Jepang pada masa pembuatan rel kereta api di
Kanchanaburi. Film ini meraih 7 Academy Awards pada masa itu untuk kategori film
terbaik, sutradara terbaik, aktor terbaik, skenario adaptasi terbaik,
sinematografi terbaik, penyuntingan terbaik dan musik terbaik.
Tahun 1995, terbit sebuah
autobiografi Eric Lomax, The Railway Man; mantan serdadu asal
Scotlandia yang pernah menjadi tawanan Jepang dan membangun rel kereta api di
Kanchanaburi. Buku ini menceritakan perjalanan hidup, karir militer, menjadi
tawanan dan membangun rel kereta maut di Kanchanaburi, kondisi psikisnya yang
mengalami trauma, hingga rekonsiliasi dengan Kempetai yang pernah menawannya. Di
tahun yang sama, kisah Lomax diangkat menjadi drama televisi BBC dengan judul Prisoners in Time. Sebuah film adaptasi
dibuat tahun 2013 dengan judul The
Railway Man, yang dibintangi Colin
Firth dan Jeremy Irvine sebagai Lomax tua dan
Lomax muda, serta Nicole Kidman.
Kisah Lomax yang luar biasa
serta rekonsiliasinya dengan Takashi Nagase, mantan Kempetai yang dulu pernah
menawan dan menginterogasinya di ruang penyiksaan, membuat saya ingin
mengunjungi Jembatan Sungai Kwai di Kanchanaburi.
Pada bulan November 2017, kami
berkesempatan mengikuti tur ke Kanchanaburi. Kami dijemput di hotel dengan
mobil van. Grup kami terdiri dari turis asal Amerika, Inggris, Canada, dan
Scotlandia. Cuma kami berdua yang berasal dari Asia.
Berangkat pukul 6.30 pagi dari
Bangkok, kami menempuh perjalanan sekitar 3 jam sampai Kanchanaburi. Jarak
Kanchanaburi kurang lebih 150 km sebelah barat kota Bangkok. Anne, pemandu tur
kami mengatakan tempat pertama yang akan dikunjungi adalah museum Perang Dunia
II dan Jembatan Sungai Kwai. Setelah itu kami akan mampir ke pemakaman Perang
Dunia II, baru setelah itu makan siang.
JEATH
WAR MUSEUM
Museum ini didirikan tahun
1977 oleh kepala temple Wat Chai Chumpong, Ven. Phra Theppanyasuthee. Kata JEATH merupakan akronim
dari Japan, English, Australian, American, Thai, dan Holland.
Di depan pintu masuk terdapat
lokomotif dan gerbong yang dulu digunakan oleh tentara Jepang untuk mengangkut
amunisi dari Thailand ke Burma.
Suasana mencekam terasa ketika
kami memasuki museum. Sebuah diorama raksasa menggambarkan para tawanan yang
bekerja paksa membangun rel kereta api dengan tubuh kurus kering, serta raut
muka menyiratkan penderitaan yang amat sangat. Di samping mereka berdiri tegak
seorang Jepang mengenakan seragam yang mirip dengan Kempetai dalam film The Railway Man.
Pada salah satu diorama itu
terdapat gerbong yang digunakan sebagai penjara bagi para tawanan.
Dalam foto ini sebuah
kendaraan yang digunakan tentara Jepang untuk mengangkut peralatan bagi
pembangunan rel kereta api yang akan menghubungkan “tiga pagoda” – ke Burma dan
India, melalui Sungai Kwai.
Pada masa Perang Dunia II,
Jepang menggunakan motor ini untuk keperluan jarak pendek, misalnya dari camp
ke pasar di Kanchanaburi.
Kapal pengangkut tawanan yang
terserang malaria menuju rumah sakit desa di Khao Poon, Kanchanaburi.
Kuil
Perdamaian
Setelah mengelilingi ruangan
yang berisi diorama, kendaraan pada masa Perang Dunia II, dan helm-helm perang,
kami memasuki sebuah ruangan yang berisi artikel dan guntingan koran pada
sebuah dinding. Ada sebuah tulisan yang menarik perhatian saya, yaitu tulisan
dengan judul Building The River Kwai Peace Temple. Kuil atau temple Perdamaian
ini ternyata dibangun oleh Takashi Nagase, mantan penterjemah polisi militer
Jepang (Kempetai) yang menginterogasi Eric Lomax.
Seusai perang, Nagase mencari
dan mengumpulkan 13.000 mayat korban kekejaman tentaranya, dan momen itulah
yang kemudian mengubah hidupnya. Di Jepang, dia mulai menulis peristiwa
mengerikan yang disaksikannya dan mengkritik militer serta kaisar Jepang yang
melakukan perang. Nagase membangun monumen-monumen di seluruh Thailand dengan
uangnya sendiri, termasuk membangun River Kwai Peace Temple yang berada di dekat
Sungai Kwai.
Sejak 1976, Nagase
memprakarsai reuni antara ex tawanan perang dan tentara Jepang, dengan diawasi
oleh polisi Thailand.
Every
time I visited the Kanchanaburi War Cemetery and spent my time on The River
Kwai, I saw the Japanese inhumanity during the war attract tourists, which made
me sad.
The
movie ‘The Bridge over The River Kwai’ draws people from all over the world. I
recent years many visitors have come especially from Southeast Asia. They go
home disgusted after seeing the location where their compatriots were brouhgt
and forced to work to death. I was embarrassed to see the reality. How I wish
people would come to pray for the victims souls, and not just sightseeing. My
wish was to build a memorial.
I
was wondering if I could build a temple where anybody could pray for the
victims of Thai-Burma Railway, and the same time, hoping that Japan will never
start war again.
Niat Nagase akhirnya
terlaksana, dan bahkan ia kemudian bersahabat dengan Eric Lomax, bekas
tawanannya. Ia tahu, tidak mudah bagi Lomax untuk memaafkan. Siapapun yang
pernah berada dalam ‘neraka’, tidak mudah untuk memberi maaf.
“I knew he had hated me for 50 years, and I
wanted to ask him if he forgave me, but I couldn’t find a way,” says Nagase
today. “So I said: ‘Can we be friends?’ and he said, ‘Yes.’ "
Sebuah peti kaca berisi tulang
belulang 2 orang korban pada Perang Dunia II. Salah satu akibat konyol dari perang.
Jembatan Sungai Kwai, dilihat
dari museum Perang Dunia II. Sebuah kereta yang nantinya akan kami tumpangi
melewati jalur Death Railway (jalur kereta api maut), sedang melintas.
Jembatan Sungai Kwai
Dari museum, kami berjalan
menuju jembatan yang fenomenal itu, Jembatan Sungai Kwai. Kalau diperhatikan,
jembatan ini memiliki dua bentuk. Pada sisinya ada bentuk yang melengkung dan
datar. Bentuk melengkung (Tiger), adalah desain Jepang. Sedangkan yang datar
(Cross), merupakan desain Amerika.
Saya berjalan menyusuri
jembatan sampai ke seberang sungai. Banyak turis yang juga berada di jembatan
itu, ditambah lagi sedang ada perbaikan pada satu sisi jembatan. Saat saya
melintasi para pekerja yang sedang membungkuk di atas rel kereta di atas
sungai, tiba-tiba saya merasa seperti sedang berjalan di tengah-tengah para
serdadu tawanan yang sedang bekerja membuat rel kereta di bawah terik matahari.
Saya bisa membayangkan penderitaan mereka. Mungkin ini adalah efek dari museum
tadi.
Tempat berikutnya yang kami kunjungi,
tidak kalah menyedihkan. World War II
Cemetery. Pemakaman ini berada di
seberang stasiun Death Railway, yang
letaknya agak jauh dari museum dan Jembatan Kwai. Kami naik ke dalam van dan
beberapa menit kemudian kami sampai di pemakaman.
Dari World War II Cemetery, tiba waktunya untuk makan siang. Perjalanan
menuju restoran cukup jauh, tapi masih tetap berada di Kanchanaburi. Restoran
tempat kami makan siang adalah restoran apung, berupa rakit di Sungai Kwai.
Cuaca yang tidak begitu panas saat itu sangat mendukung, dan kami dengan
bersemangat memperhatikan makanan yang dikeluarkan dan ditata di atas meja
panjang. Cara pelayanannya unik, yaitu si pelayan menyendokkan nasi ke piring
kami satu per satu.
Kami semua menikmati makan
siang kami yang ternyata sangat lezat.
Seorang turis dari Jepang dan pasangan dari India turut bergabung. Kami
duduk mengelilingi meja panjang, dengan pelayan yang berdiri siap sedia
melayani kebutuhan kami, seperti makan malam para bangsawan dengan pelayan berseragam
yang berdiri di belakang kami. Bedanya, pelayan restoran ini tidak mengenakan
seragam. Ketika saya perhatikan wajahnya, dia mengingatkan saya pada pemeran
film ‘The Gods Must Be Crazy’.
Kami semua terdiri dari 2
orang wanita dari Canada, sepasang suami istri dari Amerika, pasangan
Scotlandia, 2 orang perempuan muda dari Inggris, seorang dari Jepang, pasangan
muda India, dan kami berdua dari Indonesia.
“Amazing,
we are from so many cultures!” kata nyonya dari Amerika
dengan penuh semangat. Yang lain menyambut dengan semangat pula. Para turis itu
barangkali datang ke sini karena dulu negaranya terlibat langsung dengan
peristiwa pembangunan rel kereta api maut. Hanya Indonesia mungkin, yang tidak
terlibat langsung dengan peristiwa Kanchanaburi. Meskipun, Indonesia juga
merasakan kekejaman Jepang saat mengalami penjajahan.
Mungkin dulu tak akan pernah
terbayangkan, orang-orang yang negaranya terlibat dalam perang, bisa berkumpul
bersama dalam satu meja, saling berbagi, saling bercerita pengalaman tanpa rasa
permusuhan. Saya bertanya-tanya dalam hati, bagaimanakah perasaan turis Jepang
itu, saat melihat museum Perang Dunia II dan Jembatan Sungai Kwai? Barangkali
sama dengan perasaan Takashi Nagase, seperti yang tertulis di museum tadi. Dia
merasa sedih, merasa malu. Dan bagaimanakah pula perasaan turis dari Scotlandia
itu, apakah sama dengan Eric Lomax? Apakah dia merasakah dendam dan sakit hati?
Salah satu keluarga dari
mereka mungkin adalah pelaku sejarah. Mungkin ada yang saat ini terbaring di
pemakaman yang kami kunjungi tadi. Perang selalu meninggalkan bekas luka.
Terutama luka psikis dari mereka yang mengalaminya. Dan setiap kali kita
melihat kembali sejarah, kita akan selalu berharap, jangan ada lagi perang.
Kitti Raft Restoran, Sungai
Kwai. Di tempat yang dulu terjadi pertempuran dalam Perang Dunia II, kini kami
dari berbagai bangsa duduk bersama dengan penuh rasa persahabatan.
Selesai makan siang kami
menuju air terjun Saiyok Noi. Air terjun ini kecil, dan lagi-lagi, ada sebuah
lokomotif yang dulu digunakan oleh Jepang. Walaupun kecil, tapi tempat ini amat
bersih dan terawat.
Pohonpun memiliki barcode
Naik
Kereta Api, tut..tut..tut..Siapa Hendak Turut?
Acara tur kami yang terakhir
hari itu adalah naik kereta api melewati jalur Death Railway. Sebelum berangkat menuju stasiun kecil di dekat air
terjun, kami membeli kopi di sebuah kedai. Saat menunggu Americano kami dibuat, saya melihat turis Jepang yang makan bersama
kami tadi membeli es krim di kedai sebelah. Mungkin sejak tadi orang Jepang ini
sudah menarik perhatian saya karena di museum, bangsa Jepang menjadi tokoh
antagonis yang kejam. Tapi yang menarik, si turis Jepang tidak hanya membeli es
krim untuk dirinya sendiri, tetapi anak-anak yang sedang bermain di sekitar
situ mendapat jatah es krim satu-satu. Anak-anak itu adalah penduduk lokal yang
tinggal di wilayah ini. Bahkan ketika dia sudah menyeberang bersiap hendak
menuju van, dan melihat seorang anak masih belum kebagian es krim, dengan sabar
ia kembali menuju kedai sambil menuntun anak itu. Sungguh suatu pemandangan
yang indah dan mengharukan.
Kami, termasuk turis Jepang
itu naik ke dalam van yang pagi tadi membawa kami dari Bangkok. Pengemudi van
mengatakan kami akan segera menuju stasiun, karena sebentar lagi kereta akan
berangkat. Kereta api ini adalah kereta lama yang dinding maupun lantainya
terbuat dari kayu. Seperti taman nasional dan air terjun tadi, kereta api kuno
ini juga sangat bersih dan terawat.
Saat kami sudah berada dalam
kereta, sebelum kereta itu bergerak, pemandu wisata berkali-kali memperingatkan
kami untuk berhati-hati, tidak mengeluarkan kepala dan tangan saat memotret.
Jalur yang akan dilewati penuh dengan pohon, semak belukar dan dinding tebing
batu (Hellpass
Fire).
Salah satu stasiun yang kami
lewati
Perjalanan kami dimulai. Kereta
bergerak di atas rel yang lebih dari 70 tahun lalu memakan ribuan nyawa dalam
pembuatannya. Mirip dengan Jalan Raya Pos di Pulau Jawa, yang dibangun atas
perintah Gubernur Jenderal Daendels serta dibayar dengan keringat dan darah
bangsa kami (Indonesia).
Sebuah pasak yang berasal dari
rel kereta, berusia lebih dari 70 tahun.
Tempat pertempuran antara tentara Sekutu dan tentara Jepang pada Perang Dunia II
Tebing batu. Bayangkan para
tawanan harus memecah dan menembus tebing dengan peralatan yang belum canggih
seperti sekarang.
Sekitar satu setengah jam
perjalanan kami dengan kereta yang tentu saja berjalan lambat. Di sebuah
stasiun, kereta berhenti. Mobil-mobil van kami sudah menunggu untuk membawa
kami kembali ke Bangkok.
Eric Lomax menulis dalam
biografinya, The Railway Man:
“The Pyramids, that other great engineering
disaster, are at least a monument to our love of beauty, as well as to slave
labor; the railway is a dead end in the jungle. . . . The line has become
literally pointless. It now runs for about 60 miles [100 km] and then stops.”
(Building a bridge to
forgiveness : https://www.japantimes.co.jp/life/2005/10/09/to-be-sorted/building-a-bridge-to-forgiveness/#.WmhGtaiWbIU
Perjalanan kami masih panjang
untuk sampai ke Bangkok. Pasangan turis dari India dan Jepang ikut mobil van
kami. Hari mulai gelap, dan meskipun lelah, anggota grup kami tidak kehilangan
keceriaannya.
Semoga perjalanan kami hari
ini dapat memberi pelajaran pada kami akan dampak buruk perang, luka dan
penderitaan yang ditimbulkan pada kedua belah pihak, dan pentingnya perdamaian.
Dan tidak lupa, peranan rekonsiliasi, memaafkan. Bridge on The
River Kwai, tidak hanya memberi inspirasi bagi sebuah karya seni
seperti film, tetapi lebih dari itu. Ia menjadi simbol sebuah rekonsiliasi,
yang menjembatani antara masa lalu yang traumatis dan masa kini yang penuh
damai. Jembatan itu adalah: Memaafkan.
Forgive
others not because they deserve forgiveness, but because you deserve peace.
~Buddha~
Sumber :
Reynolds, E. Bruce (2004). Thailand’s Secret War The Free Thai,
OSS, and SOE During World War II : Cambridge University Press
Wikipedia
Dokumentasi pribadi
Bridge On The River Kwai (1957) Trailer
The Railway Man Trailer
The Railway Man Trailer