Kamis, 22 Maret 2018

PIDATO CEO GOOGLE DAN BIAWAK


Ada sebuah kejadian ketika saya hendak pulang ke Jakarta dari Bangkok. Saat itu kami naik pesawat dari bandar udara Don Mueang. Karena tidak ingin mengulang kejadian saat dari Bangkok menuju Chiang Mai - saat itu kami harus sport jantung karena sebentar lagi waktu boarding sementara kami masih antri untuk check in, maka jauh sebelum jam lepas landas, kami sudah sampai di bandara. Untung pada waktu ke Chiang Mai kami tidak ketinggalan pesawat. 

Kami sampai di Don Mueang setengah hari sebelum pesawat lepas landas. Agak lebay kedengarannya, tapi itu karena kami berangkat dari kota Pattaya. Jadi kami harus memperhitungkan jarak dan kemacetan yang biasa terjadi di kota Bangkok. Ternyata kami sampai lebih cepat karena kebetulan jalanan lancar. Tiga jam sebelum boarding, kami sudah check in. Benar-benar well prepared. Kami sudah memperhitungkan antrian check in yang pasti bakal mengular. Benar saja. Tetapi karena masih banyak waktu, saya mengantri sambil kipas-kipas bangga karena perhitungan saya tepat.

Hari itu kami puas mengelilingi bandara Don Mueang. Naik, turun, naik lagi. Makan sandwich, duduk sambil mendengarkan Ed Sheeran, pokoknya, Perfect. Satu saat ketika sedang antri luggage wraping, kami menyaksikan pertengkaran dengan bahasa yang tidak kami mengerti. Sepertinya mereka sepasang suami istri, separuh baya, dengan barang bawaan sebanyak satu supermarket.

Meski antrian check in cukup panjang, saat kami selesai dan memasuki ruang tunggu, masih tersedia waktu yang lumayan. Hati saya benar-benar tenang. Saya duduk sambil menarik nafas lega. Tinggal menunggu, dan malam ini kami sudah akan berada lagi di Bogor. Saya mengingat lagi perjalanan kami selama sepekan ini -Bangkok, Chiang Mai, Chiang Rai, Pattaya. Rasanya waktu cepat berlalu. Tidak terasa kami sudah akan kembali pulang, dan lusa kembali mengajar seperti biasa.

Di ruang tunggu ada layar yang menayangkan sebuah iklan yang terus menerus diulang. Saya tidak mengerti artinya, tapi saya suka iklan tersebut. Yang paling saya suka dari iklan itu adalah adegan berlari. Di situ digambarkan seorang gadis yang berlari hendak menemui pasangannya yang akan naik sebuah kapal laut. Gadis itu berlari keluar dari gedung bertingkat, ke jalan, melewati pasar, naik tuk-tuk, berlari lagi sampai ke dermaga. Tapi terlambat. Si pria sudah berada di atas kapal, dan sudah bergerak menjauhi dermaga. Si gadis hanya mengangkat bahu. Namun tiba-tiba gadis itu melompat ke air. Itulah endingnya.

Saya bertanya-tanya dalam hati, kenapa gadis itu harus melompat, bukan kapal itu yang memutar arah. Sedang berpikir demikian, tiba-tiba terdengar suara jeritan. Ketenangan dan kedamaian saya terusik. Bukan jeritan satu orang, tapi beberapa orang. Spontan saya dan juga beberapa orang lain menoleh ke arah datangnya suara.

Ruang tunggu itu cukup padat. Saya tidak bisa menemukan penyebab jeritan dan orang yang menjerit. Yang nampak hanyalah kerumunan manusia.

Suara-suara orang yang menjerit itu semakin keras, dan beberapa orang terlihat naik ke atas kursi. Kami saling berpandangan dan bertanya-tanya, ada apa gerangan. Saya sempat berpikir ada orang yang mengamuk atau ada seorang teroris. Mungkin teroris itu membawa senjata. Bagaimana senjata itu bisa lolos dari pemeriksaan? Tapi kenapa orang-orang itu melihat ke bawah, ke lantai? Apakah orang-orang itu naik ke atas kursi supaya bisa melihat lebih jelas apa yang terjadi?

Saya baru saja hendak beranjak mendekati kerumunan itu ketika pertanyaan-pertanyaan saya tadi segera terjawab. Seekor biawak yang cukup besar muncul dari bawah kursi seberang kursi saya, merangkak menyeberangi gang menuju ke arah saya! Dengan panik, tanpa pikir panjang lagi saya langsung melompat ke atas kursi, satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri. Dan, reaksi orang-orang itu, yang menjerit-jerit melihat biawak, juga menular kepada saya. Biawak itu merangkak di bawah kursi, berbelok ke kanan lalu berjalan di gang di antara deretan kursi.

Ruangan itu menjadi gempar. Hampir sebagian besar sudah berdiri di kursi masing-masing. Bagaimana seekor biawak bisa nyasar berada di ruang tunggu bandara? Beberapa orang mulai mengambil gambar, memotret dan merekam ‘si teroris’ itu. Suara jeritan sudah tidak ada, berganti dengan suara tawa. Di satu sisi saya merasa lega karena dugaan orang mengamuk atau teroris itu tidak benar. Ternyata hanya seekor biawak yang tersesat. Tetapi ‘hanya’ itu sudah cukup membuat heboh

Biawak itu masih berjalan-jalan, diikuti segerombolan orang yang hendak memotret dan merekam. Seorang turis dari India malah menyapa biawak itu dengan ramah. “Hello,” katanya. Sementara biawak mondar-mandir kebingungan karena tiba-tiba dikerumuni papparazi, petugas bandara juga sibuk ke sana ke mari dengan wajah tegang. Tidak jelas apa yang mereka lakukan. Mungkin mereka bingung bagaimana cara menangkap si biawak.

Saya masih berdiri di atas kursi, mengikuti biawak dengan pandangan mata. Dua orang ibu di kiri depan saya sudah duduk kembali di kursinya tetapi dengan kaki diangkat. Perempuan di hadapan saya berjongkok di kursinya. Saya melihat ke sekeliling. Saat itulah saya menyadari ada beberapa orang yang tetap tenang, tidak terganggu oleh kejadian barusan. Mereka tetap duduk di kursi dengan posisi biasa, bahkan saat biawak melintas di depan mereka. Raut wajah mereka menunjukkan seperti tidak terjadi apa-apa. Salah satu dari mereka hanya menggeser kakinya sedikit ketika biawak nyelonong begitu saja tanpa permisi. Kerumunan papparazi dadakan itu pun sungkan, mereka membubarkan diri kembali ke tempat duduk masing-masing

Saya tertegun. Perlahan, saya kembali duduk. Bagaimana segelintir orang tersebut bisa begitu tenang di tengah situasi yang sempat chaos seperti tadi? Pertanyaan bagaimana seekor biawak bisa mondar-mandir di ruang tunggu bandara sudah tak penting lagi. Perhatian saya beralih pada sikap tenang mereka.

Reaksi vs. Respons

Saya duduk kembali, lalu kemudian teringat sebuah pidato yang diucapkan CEO Google, Sundar Pichai yang berasal dari India. Dalam pidatonya yang inspiratif, ia berkisah tentang kecoa. Di sebuah restoran, seekor kecoa tiba-tiba terbang dan mendarat di seorang wanita. Dia mulai berteriak ketakutan. Reaksinya menular, karena semua orang di kelompoknya juga bereaksi menjadi panik. Wanita itu akhirnya berhasil mendorong kecoa tersebut pergi tapi...kecoa itu mendarat di pundak wanita lain dalam kelompok. Sekarang, giliran wanita lain dalam kelompok itu melanjutkan drama.

Seorang pelayan wanita maju untuk menyelamatkan mereka. Dalam aksi lempar kecoa itu, akhirnya si kecoa jatuh di hadapan pelayan wanita. Pelayan wanita berdiri kokoh, menenangkan diri dan mengamati perilaku kecoa di mejanya.

Ketika dia cukup percaya diri, ia meraih kecoa itu dengan jari-jarinya dan melemparkannya keluar dari restoran.

Sang CEO, sambil menyeruput kopi bertanya-tanya, apakah kecoa yang bertanggung jawab atas perilaku heboh mereka? Jika demikian, mengapa pelayan wanita itu tidak terganggu?

Kejadian yang dikisahkan dalam pidato Sundar Pichai, kebetulan agak mirip dengan kejadian barusan, pikir saya. Tapi tentu saja saya tidak berada dalam posisi pelayan wanita yang berdiri kokoh dan bersikap tenang. Saya adalah termasuk wanita heboh pelaku drama. Tapi saat ini, saya ingin berperan sebagai CEO dan bertanya,

“Lalu apa yang bisa saya dapat dari kejadian tadi?”

Dari tempat saya duduk saya berpikir...kenapa saya dan sebagian besar orang-orang di sini begitu panik, sedangkan empat orang atau lebih di sebelah kanan sana bisa bersikap tenang, juga dua orang berjubah coklat di deretan depan itu? Berarti bukan karena biawaknya, tapi karena respon yang diberikan itulah yang menentukan. Kecoa akan tetap menjijikkan selamanya, biawak akan nampak mengerikan, begitu juga dengan masalah. Reaksi wanita terhadap kecoa, reaksi saya terhadap biawak, atau terhadap masalah, yang sebenarnya lebih menciptakan kekacauan, melebihi dari masalah itu sendiri.

Kisah pidato CEO Google yang menyebar lewat pesan Whatsapp itu seperti ditujukan kepada saya. Saya membayangkan Sundar Pichai seperti berbicara langsung kepada saya, apa hikmah di balik kisah inspiratif dari pidato ini?

Para wanita bereaksi, sedangkan pelayan merespon. Reaksi selalu naluriah sedangkan respon selalu dipikirkan baik-baik. Sebuah cara yang indah untuk memahami HIDUP. Orang yang bahagia bukan karena semuanya berjalan dengan benar dalam kehidupannya. Dia bahagia karena sikapnya dalam menanggapi segala sesuatu di kehidupannya benar!

Suasana ruang tunggu kembali tenang seperti semula. Biawak itu sudah tidak kelihatan lagi, mungkin dalam perjalanan pulang kembali ke Sungai Chao Praya. Pengumuman untuk boarding terdengar dari pengeras suara, dan orang-orang serentak berdiri tidak sabaran, seperti takut tidak kebagian kursi di pesawat. Antrian menjadi simpang siur. Chaos kedua terjadi, kali ini reaksi mendengar suara pengumuman. Seperti ada sebuah dorongan, saya menoleh ke sebelah kanan. Empat orang itu masih bersikap tenang, menunggu dengan sabar. Lalu pandangan saya alihkan ke deretan depan. Dua orang berjubah coklat itu juga masih duduk, sikapnya rileks, ceria, tidak ikut berdesak-desakan.

Indahnya sikap mereka, pikir saya dalam hati. Bagi saya, kisah dalam pidato CEO Google itu benar-benar terjadi pada saya. Pesan dari kejadian itu begitu membekas, tidak hanya sekedar mengakui bagus, inspiratif, dishare, lalu dibuang. Memang sulit untuk memberi respon secara benar, tetapi bukan mustahil. Hormat saya untuk mereka yang tetap tenang itu, mereka adalah ‘Pidato CEO’ di kehidupan nyata.



Bangkok, 22 November 2017



Rabu, 21 Maret 2018

Live In Peace





Pernah suatu ketika, saya sedang berada di Singapura. Seorang pengusaha, yang termasuk orang terkaya di negara itu, mengundang saya untuk sarapan di rumahnya dan bertemu dengan keluarga pengusaha itu, istri serta anak-anaknya. Orang ini barangkali adalah impian bagi kita, bagi semua orang. Bagaimana tidak? Dia adalah seorang pengusaha sukses, kaya raya, bahkan yang terkaya di Singapura; baik hati, dan dermawan. Dia adalah sosok ideal, siapapun ingin menjadi seperti dia. Sukses dan kaya.

Selama saya berada di Singapura, setiap hari pengusaha ini mengundang saya untuk sarapan. Macam-macam makanan yang disediakan. Setelah menawarkan makanan ini dan itu, mulailah pengusaha itu bercerita tentang masalahnya.

Sambil makan, saya mendengarkan masalah yang dikemukakan pengusaha tersebut. Ternyata, seorang terpandang dan kaya raya di Singapura, memiliki masalah yang sama dengan orang kebanyakan. Dia mulai mengeluh soal anak lelakinya yang tidak sesuai dengan yang dia harapkan. Tidak punya arah, kurang bekerja keras, dan sebagainya. Ia juga bercerita tentang masalah karyawannya yang menurutnya kurang motivasi dan kurang rajin. Ia yang memiliki segalanya, juga tak luput dari masalah yang dialami setiap orang.

Saat sedang berada di rumahnya yang begitu luas dan indah, saya berjalan ke arahnya di ruang tamu. Saya melihat dia sendirian. Di tengah ruangan yang megah dan luas itu, ia nampak begitu kecil; seorang diri sedang memainkan Ipadnya. Melihat itu, saya menyadari betapa kesepiannya ia. Seketika, saya merasa kasihan padanya

Kisah ini dituturkan oleh Ajahn Brahmali dalam acara Ajahn Brahmali Indonesia Roadshow 2018 yang berisi talk show dan peluncuran bukunya bertajuk Live In Peace. Acara yang diselenggarakan pada tanggal 4 Maret 2018 lalu di Podium Lippo Ekalokasari Plaza Bogor ini diprakarsai oleh Ehipassiko Foundation. Tak hanya talk show dan peluncuran buku Ajahn Brahmali yang berjudul Murnikan Batinmu Sendiri, tetapi pada kesempatan itu ada juga acara amal berupa lelang lukisan. Hasil dari penjualan lukisan tersebut akan digunakan untuk membantu orang-orang di pedesaan yang tidak mampu. Dalam kesempatan roadshow kali ini Ajahn Brahmali berkunjung ke enam kota dalam enam hari, yaitu Surabaya, Semarang, Jakarta, Bogor, Gorontalo dan Makassar.



Ajahn Brahmali lahir di Norwegia tahun 1964. Beliau pertama kali tertarik pada ajaran Buddha pada usia 20an setelah berkunjung ke Jepang. Setelah menyelesaikan gelar sarjana teknik dan keuangan, ia memulai latihan monastiknya sebagai anagarika (yang menjalani delapan sila) di Inggris, di Wihara Amaravati dan Chithurst.

Setelah mendengar ajaran dari Ajahn Brahm, ia memutuskan pergi ke Australia untuk berlatih di Wihara Bodhinyana. Ajahn Brahmali sudah tinggal di Wihara Bodhinyana sejak tahun 1994, lalu ditahbis sebagai bikkhu oleh Ajahn Brahm pada tahun 1996.

Ajahn Brahmali berasal dari keluarga terpandang dan kaya di Norwegia, yang juga termasuk negara paling kaya di dunia. Tetapi ia memutuskan untuk meninggalkan itu semua dan memilih jalan hidup sebagai bikkhu. Mirip dengan Pangeran Sidharta yang meninggalkan istana berikut kemewahannya, mengembara hingga akhirnya mencapai pencerahan tertinggi.




Kisah yang dituturkan oleh Ajahn Brahmali di atas merupakan pengalamannya saat beliau mengunjungi Singapura. Mungkin sudah nasib para bikkhu, bahwa setiap kali bertemu orang atau umat, mereka akan menggunakan kesempatan itu untuk curhat mengenai masalahnya, ujarnya, yang disambut tawa para hadirin.

Banyak orang beranggapan bahwa dengan mengejar sesuatu yang bersifat duniawi, mereka akan mencapai kebahagiaan. Mereka berlomba-lomba meraih sesuatu, menggunakan seluruh energi dan daya upayanya untuk memenuhi keinginannya.

Hingga suatu saat, kematianpun tiba. Segala usaha dan jerih payahnya harus ditinggalkan. Tak ada satupun kekayaan atau keluarganya yang dapat dibawanya saat kematian tiba. Bahkan terkadang saat belum matipun, kita terpaksa harus berpisah dengan harta atau orang yang kita kasihi.

Banyak masalah di dunia ini, entah itu masalah politik, perebutan kekuasaan, peperangan, hingga perpecahan keluarga, akarnya berasal dari nafsu keinginan. Memang lumrah jika manusia menginginkan kebahagiaan, tetapi banyak manusia mencari kebahagiaan ke arah yang salah, demikian kata Ajahn Brahmali. Ironisnya, semakin seseorang mengejar kebahagiaan, dia justru semakin menjauh dari kebahagiaan itu sendiri. Contohnya, seorang suami yang mengharapkan istrinya bersikap begini atau begitu, dan ketika istrinya tidak sesuai dengan yang diharapkan, maka ia akan kecewa. Begitu juga sebaliknya.

Atau orang tua yang menginginkan anaknya menjadi seperti ini atau seperti itu, mereka akan menderita ketika ternyata anaknya tidak menjadi seperti yang diinginkan. Saya akan bahagia jika bisa meraih ini, saya akan bahagia jika mendapatkan itu, tetapi ketika berhasil meraih apa yang kita inginkan, kita malah ingin meraih lebih, dan lebih lagi. Justru terkadang, semakin kita berhasil meraih keinginan kita, kita malah semakin merasa hampa dan terasing.

Ajahn Brahmali memberikan contoh lagi tentang seorang raja yang memiliki wilayah luas, tanah yang subur, kuda-kuda dan gajah yang banyak jumlahnya. Suatu ketika, seorang dari kerajaannya datang menghadap kepadanya. Ia mengatakan kepada raja, bahwa di utara, ada sebuah kerajaan yang tidak begitu besar, tetapi amat subur dan juga memiliki kuda-kuda serta gajah yang banyak jumlahnya. Orang itu bertanya kepada raja, apa yang akan dilakukan oleh baginda. Raja itu menjawab, “Oh, saya akan menyerbu kerajaan itu, supaya rajanya tunduk pada saya, dan wilayahnya menjadi bagian wilayah saya.”

Lalu datanglah seseorang dari selatan melapor kepada raja, bahwa di selatan ada sebuah kerajaan kecil yang subur, dengan kuda-kuda dan gajah yang banyak jumlahnya. Raja itu juga mengatakan, “Saya akan menyerbu kerajaan itu, supaya rajanya tunduk pada saya, dan wilayahnya menjadi bagian wilayah saya.” Hal yang sama dikatakan oleh raja ketika ada orang dari barat dan timur, melaporkan bahwa ada kerajaan tetangga yang subur, dengan kuda dan gajah yang banyak jumlahnya. Ini adalah cermin dari keinginan, tidak akan pernah ada habisnya. Utara, selatan, barat dan timur sudah dikuasai, lalu seluruh planet bumi ini ingin dikuasai juga.



Lima Perenungan

Dalam bukunya Murnikan Batinmu Sendiri, Ajahn Brahmali memberikan lima contoh perenungan yang dapat dilakukan oleh siapa saja, baik itu perempuan, laki-laki, perumah tangga maupun kaum monastik. Perenungan ini sangat bermanfaat untuk mengurangi kotoran batin dan menghadirkan kualitas batin yang positif.

Kelima perenungan itu adalah :

1.    Perenungan Ketuaan
2.    Perenungan Sakit
3.    Perenungan Kematian
4.    Perenungan Berpisah dari yang Disayang dan Menyenangkan
5.    Perenungan Kita Adalah Pewaris Karma Sendiri                                                                                                                                                                                                                        

     
Lelang lukisan yang hasilnya diperuntukkan bagi keluarga tidak mampu di pedesaan



Acara di hari minggu itu banyak menyebut soal kematian. Sebagai penutup, moderator acara Pak Handaka Vijjananda memberikan kesimpulan, bahwa hidup kita ini diperbudak oleh nafsu, sehingga terus bergolak. Hidup kita menjadi tidak tenang, tidak tentram. Ada investasi yang lebih baik, yaitu kualitas batin, spiritual. Lalu, jika seseorang meninggal, apakah dia benar-benar 'Rest In Peace'? Pak Handaka mengatakan, lihatlah bagaimana semasa dia hidup. Jika dia 'Live in Peace', maka matinyapun akan 'Rest in Peace. 
Sebagai tambahan, Bapak Handaka Vijjananda adalah pendiri Ehipassiko Foundation, memiliki tiga orang anak kandung dan anak asuh sebanyak 600 orang. 



Ajahn Brahmali memberikan tanda tangan di buku beliau










Bogor, 4 Maret 2018
















  


Kamis, 08 Maret 2018

Breathing In, Breathing Out

Breathing in, breathing out
Breathing in, breathing out
I am blooming as a flower
I am fresh as a dew
I am solid as a mountain
I am firm as the earth
I am free

Breathing in, breathing out
Breathing in, breathing out
I am water reflecting
What is real what is true
and I feel there is space
deep inside of me
I am free, I am free, I am free


Saya pertama kali mendengar lagu ini di acara Day Of Mindfulness yang diadakan pada 27 Januari 2018 yang lalu. Lagu ini adalah salah satu lagu pada retreat Plum Village yang didirikan oleh master Zen Thich Nath Hanh atau yang akrab disapa Thay. Begitu mendengar lagu ini, saya langsung jatuh cinta. Melodinya langsung menempel di kepala, dan syairnya mengingatkan pada nafas saya sendiri.

Hal yang paling akrab, paling dekat dengan kita, namun sayangnya jarang kita sadari, adalah nafas kita. Padahal kita bernafas sejak dari masih di kandungan, lewat nafas ibu kita; lalu setelah kita lahir kita bernafas sendiri sampai detik ini. Kita baru menyadari kalau kita ini sedang bernafas justru ketika kita mengalami masalah dengan pernafasan kita. Nafas itulah yang menandakan kita masih hidup. Hingga ajal menjelang, saat kematian tiba, akan disebut sebagai nafas yang penghabisan atau yang terakhir. 

Menyadari bahwa hidup kita ini hanyalah sepanjang satu tarikan nafas masuk dan nafas keluar, menimbulkan rasa syukur sebab entah sudah berapa juta kali kita bernafas dari sejak lahir hingga detik ini. Dan tidak ada jaminan beberapa detik ke depan atau beberapa hari ke depan kita masih bernafas. Jadi, alangkah berharganya nafas dan waktu yang masih kita miliki! Dan betapa besar jasa ibu kita yang sudah menyalurkan oksigen pada kita saat masih di kandungan.

With life as short as a half taken breath,
don't plant anything but love. ~Rumi~

Beberapa hari lalu mood saya sedang jelek. Saya merasa kesal dan jengkel. Tiba-tiba saya teringat dengan lagu Breathing In Breathing Out. Saya mencoba menarik nafas, menaruh perhatian sepenuhnya ketika saya menarik nafas masuk dan menghembuskan nafas keluar. Beberapa kali, dan saya merasakan rasa kesal itu mereda. Ketika kekesalan itu muncul lagi dan semakin meningkat, saya kembali lagi kepada nafas. Hingga hari itu berakhir rasa kesal dan jengkel itu tidak muncul lagi. I am free.