Apakah kisah Lord of The Ring dan The Hobbit karya J.
R.R Tolkien terpengaruh oleh Buddhisme, ataukah memang karena sesungguhnya
Dharma ada di mana-mana?
Menyaksikan film Lord of The Ring trilogy dan The
Hobbit trilogy, rasanya seperti tak asing. Selama ini yang dikenal sebagai film
yang amat sangat dipengaruhi oleh Zen Buddhisme adalah Star Wars. Tetapi saat
menyimak kisah LOTR, sesuatu Nampak jelas di sana. Cerita fantasi ini
mengandung Dharma. Tersirat pesan spiritual terkandung di dalamnya.Ide yang mengilhami Tolkien mengenai cincin adalah cerita yang ditulis Plato berjudul Ring of Gyges. Dalam bukunya The Republic, Plato menulis tentang Glaukon, seorang tokoh yang mendukung Thrasymakos (seorang dari kaum Sofis*). Dukungan Glaukon kepada argumentasi Thrasymakos yang memiliki pandangan pesimis terhadap manusia, dituangkan dalam kisah Ring of Gyges.
Plato dan Aristoteles (https://bearskin.org/2015/09/11/the-ring-of-gyges/) |
Gyges adalah seorang gembala, yang pada suatu hari, saat sedang menggembalakan ternaknya, ia menemukan seorang raksasa mati di sebuah lembah. Raksasa itu mengenakan sebuah cincin. Gyges mengambil cincin itu, dan mengenakannya di jarinya.
Suatu ketika raja mengumpulkan rakyatnya dalam sebuah
pertemuan. Gyges juga hadir. Sambil mendengarkan raja berbicara, ia bermain-main
dengan cincinnya dengan cara memutarnya. Ketika cincin itu berputar menghadap
ke dalam, ia mendengar teman-temannya berkata,”Di mana Gyges? Ia tidak ada!”
Lalu ia memutar lagi cincinnya menghadap keluar. Saat itu teman-temannya dapat
kembali melihatnya.
Peristiwa itu menyadarkan Gyges akan kekuatan cincin
tersebut. Ia dapat menghilang, tak terlihat. Dengan kekuatannya itulah ia lalu
mengikuti permaisuri raja ke kamar tidurnya. Dalam kamar ratu, ia
memperlihatkan diri. Ia memberikan sebuah penawaran. Ia berkata, “Wahai Ratu,
saya mempunyai sebuah kekuatan. Maukah kau menikah dengan saya?” Sang ratu
bersedia, dan lalu mereka membunuh raja dengan mudah, karena Gyges tak
terlihat. Setelah itu, Gyges menjadi raja.
Dalam kisah Ring of Gyges Glaukon meneruskan pandangan
pesimis Thrasymakos terhadap manusia. Menurutnya, sejauh tidak diketahui
siapa-siapa, manusia menyukai apa yang tidak adil (melakukan ketidakadilan).
Menurut Glaukon tidak ada satu orangpun yang berniat sungguh-sungguh hidup
adil. (Jika ada satu lagi cincin seperti yang dimiliki Gyges, dan dikenakan
oleh orang yang baik, tidak ada jaminan orang tersebut tidak akan melakukan hal
yang sama dengan yang diperbuat Gyges).
Kaum Sofis dalam masa kejayaan Athena adalah kaum yang amat ditentang
oleh Socrates, Plato dan Aristoteles. Sofisme, bagi Plato, adalah musuh
filsafat. Kaum sofis tidak mempercayai adanya kebenaran. Mereka adalah
orang-orang yang pintar, dan menggunakan kepintarannya dalam berargumentasi untuk
memutarbalikkan fakta. Sesuatu yang benar menjadi salah, dan yang salah
menjadi benar. Gawatnya lagi, mereka mendirikan sekolah-sekolah yang
mengajarkan retorika dengan cara mereka, dan menarik bayaran yang tinggi.
Retorika yang mereka ajarkan berbeda dengan yang diajarkan oleh Plato dan
Aristoteles. Retorika kaum sofis adalah tentang bagaimana cara memenangkan
argumentasi, bukan untuk mencari kebenaran.
Jika mereka terpojok dalam perdebatan, mereka akan
menyerang hal-hal yang bahkan tidak ada hubungannya dengan topik. Misalnya
mereka akan menyerang dari sisi keturunan lawan bicaranya, bangsa, ras, dan
sebagainya.
Jika Gyges pada akhirnya naik tahta dengan membunuh
raja berkat cincin yang membuatnya tak terlihat, kisah dalam buku Lord of The
Ring karya John Ronald Reuel Tolkien (3 Januari 1892 – 2 September 1973) punya
alur berbeda. Tolkien, seorang penyair, philologist asal Inggris dan seorang pemeluk
Katolik yang taat, terinspirasi oleh kisah Ring of Gyges. Tolkien mengatakan
bahwa kisah Lord of The Ring adalah kisah yang religious. Lewat LOTR ia seperti
membantah anggapan Glaukon bahwa tak ada keadilan atau kebaikan dalam diri
manusia. Unsur religious terserap di dalam cerita dan symbol-simbol dalam novel
fantasi ini.
Lord of The Ring (https://www.esquire.com/entertainment/tv/a13529805/lord-of-the-rings-series-amazon-details/) |
Saya sendiri melihat cerita LOTR resonan dengan konsep
buddhisme. Pertama adalah kemelekatan pada sesuatu akan membawa penderitaan.
Setiap orang yang ingin memiliki cincin tersebut, akan menderita. Cincin itu
bagi saya adalah symbol segala sesuatu yang ingin kita miliki dan kita lekati,
seperti kekayaan, popularitas, jabatan atau seseorang, bahkan konsep. Ketika seseorang
sudah dipenuhi oleh nafsu untuk memiliki dan menggenggam, ia bagai kena sihir, buta,
bahkan menjadi gila.
Perjalanan
Spiritual
Perjalanan Frodo Baggins membawa cincin untuk dimusnahkan diibaratkan
sebagai perjalanan spiritual. Ia melakukan perjalanan bukan untuk mendapatkan
sesuatu, tetapi untuk MELEPAS
sesuatu. Frodo melakukan perjalanan bukan untuk menemukan harta karun atau ketenaran.
Saat kembali ke Shire setelah memusnahkan cincin, tak ada orang yang
mengelu-elukannya. Perjalanannya tidak untuk menjadikannya seorang pahlawan. Ia
semata-mata hanya merespon untuk menolong kehidupan di Middle earth yang sudah
dikepung oleh kekuatan Sauron yang semakin lama semakin besar. Tidakkah kita
mengenali Middle earth sebagai dunia kita saat ini?
Sauron
Dalam Diri Kita
Sauron dikatakan tak berwujud, tak berbentuk; ia
abstrak sekaligus nyata. Ia ada dalam diri kita. Dalam LOTR Sauron disimbolkan
sebagai mata (The Eye). The Eye = ‘I’, atau aku (Ego). Jika kita tidak memiliki
kesadaran, kita tetap hidup dengan melekati segala sesuatu, ego kita akan
semakin besar. Keserakahan, kebencian, kesombongan, perlahan merasuki diri
kita. Jika dibiarkan, kekuatannya semakin lama akan semakin besar. Kita akan
dikuasai oleh ego. Apa akibatnya? Kerusakan dan penderitaan. Tidakkah itu
memang terjadi dalam dunia kita saat ini? Peperangan, penindasan, kerusakan
alam, pembabatan hutan besar-besaran (Tolkien menyiratkan kebenciannya pada
efek samping industrialisasi dalam LOTR), dan ketimpangan sosial terjadi di
mana-mana. Bahkan, untuk skala kecil, adalah konflik dalam keluarga. Dalam The
Hobbit (Battle of 5 Armies), masalah bukan disebabkan oleh Smaug, naga penjaga
harta karun. Masalah dan peperangan timbul justru dari keserakahan untuk
menguasai emas. Yang artinya, penderitaan tidak disebabkan oleh faktor eksternal,
sesuatu di luar diri kita. Melainkan berasal dari dalam diri kita sendiri. Sauron
hanya bisa dilenyapkan dengan cara belajar melepas.
Pemikiran
Yang Non Dualistik
David Loy, seorang guru Zen berpendapat bahwa cerita
Lord of The Ring adalah sangat dualistik; kebaikan melawan keburukan/kejahatan.
Bahwa Orc harus dimusnahkan sampai tuntas. Satu-satunya kebaikan Orc adalah
kematiannya. Saya tidak sependapat. Dalam LOTR tersirat bahwa kebaikan tak
dapat dipisahkan dengan keburukan. Dimana ada kebaikan, di situ ada keburukan.
Di mana ada keburukan, di situ ada kebaikan. Keduanya ibarat dua sisi koin yang
tak dapat dipisahkan. Ini menunjukkan pemikiran yang non dualistik. (CMIIW)
Bersatunya manusia, elf, kurcaci, penyihir, pohon dan
hobbit untuk memusnahkan cincin dan melenyapkan kekuatan Sauron dari Middle
earth adalah symbol bahwa kita semua adalah bagian dari alam. Kita tak dapat
dipisahkan dari alam tempat kita berdiam. Masing-masing dari kita memiliki
tanggung jawab. Ini juga merupakan pemikiran yang non dualistik. Bahwa aku dan
orang lain adalah satu, tak ada aku vs liyan. Manusia, elf, hobbit, dan kurcaci
adalah satu. Segala sesuatu, saling berhubungan.
Sumber :
Kelas Filsafat Salihara; Sejarah Filsafat Yunani :
Sofisme, oleh Romo A. Setyo Wibowo (dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara)
Makalah Pengantar Sejarah Filsafat Yunani : Sofisme,
oleh Romo A. Setyo Wibowo
https://bearskin.org/2015/09/11/the-ring-of-gyges/
https://www.esquire.com/entertainment/tv/a13529805/lord-of-the-rings-series-amazon-details/
Sofisme merujuk pada aliran filsafat dan Retorika pada
periode Yunani Klasik dan Hellenistik, yang dalam pandangan umum dianggap
mengajarkan Relativisme moral dan cara berargumentasi yang tampaknya masuk akal
namun fallacious (keliru).