Cuma
lima menit waktu yang kami miliki di Blue
Temple. Untungnya kuil ini tidak besar. Dengan singkatnya waktu, saya
merasakan tiap detik adalah berharga. Begitu mobil van berhenti, kami segera
turun menghambur menuju bangunan cantik berwarna biru itu. Hampir seluruh
ornamen kuil yang terletak di Chiang Rai ini, berwarna biru. Beberapa hiasan
pada dindingnya mirip dengan hiasan pada dinding rumah adat di Indonesia.
Di
depan pintu masuk, terdapat tangga landai yang di kiri kanannya terdapat
sepasang naga berwarna biru. Ornamen naga ini begitu detail, ketika didekati
kita bisa melihat dan merasakan sisik pada tubuh naga tersebut. Temple ini termasuk mungil, hanya
terdiri dari satu ruangan. Ketika saya berdiri di depan pintu, pandangan saya
langsung tertuju pada sebuah rupang Buddha berwarna putih. Rupang Buddha ini
sungguh besar, sehingga seolah memenuhi dan mengisi seluruh ruangan yang tak
seberapa besar itu. Entah rupang tersebut mengandung fluorosens atau apa, tetapi saya seperti melihat rupang Buddha yang
sedang tersenyum itu seperti bersinar.
Pemandangan
dari pintu masuk, seluruh interior didominasi warna biru. Seluruhnya begitu
terawat dan bersih. Malah, di depan pintu ada seorang wanita yang berjalan
mondar-mandir sambil membawa sapu dan tempat sampah. Sebentar-sebentar ia
menyapu lantai. Padahal, tak nampak ada sampah sama sekali. Bahkan di halaman
dan area parkir, tak satupun terdapat sampah.
Blue Temple, atau
nama lokalnya Wat Rong Suea Ten,
terletak di Suea Ten, distrik Rimkok, beberapa kilometer di luar kota Chiang
Rai. Suea Ten, artinya adalah harimau yang menari (dancing tiger). Dulunya, di tempat ini banyak harimau yang
melompat menyeberangi sungai.
Kuil
ini dibangun tahun 1996, di atas reruntuhan kuil yang berasal dari sekitar 80 –
100 tahun yang lalu. Konstruksinya dibuat pada bulan Oktober 2005, sedangkan
rupang Buddha putih selesai dibuat pada tahun 2008. Bangunan utama baru selesai
pada 22 Januari 2016. Jadi belum ada dua tahun ketika saya menginjakkan kaki di
Blue Temple.
Halaman
kuil lebih kental nuansa mitologi, mungkin mitologi Buddhis atau Hindu, atau
keduanya. Tepat di depan bangunan utama, berdiri sebuah patung, berkepala manusia
dan bertubuh burung. Kalau saya tidak salah, makhluk ini ada di dalam mitologi
buddhis. Di tengah-tengah area parkir, terdapat sebuah kolam yang dihiasi
patung manusia setengah ular yang beranjali di keempat sisinya, seolah memberi
hormat di keempat arah angin. Sebelum memasuki halaman kita juga dapat melihat
sebuah patung raksasa, setengah manusia dan setengah ular, berwarna biru,
dengan tinggi mungkin sekitar 10 meter. Ia seperti memegang sebuah telur pada
tangan kirinya.
Benar
kata Sarah, Blue Temple memang sangat
indah. Saya rasa di Chiang Rai ini banyak terdapat seniman yang luar biasa,
yang sentuhannya menghiasi bangunan-bangunan temple di kota ini dengan berbagai warna. White Temple, Black House,
dan Blue
Temple.
Waktu
kami sudah habis. Masih ada beberapa tempat lagi yang akan kami kunjungi,
termasuk acara makan siang. Makhluk berbentuk manusia setengah ular itu semakin
lama semakin mengecil. Hingga akhirnya benar-benar hilang dari pandangan, seiring dengan mobil kami yang melaju meninggalkan Blue Temple.
Hari
kedua di Chiang Mai. Pada hari ini kami mengikuti tur ke kota Chiang Rai. Ada
beberapa tempat yang akan kami kunjungi di Chiang Rai, salah satunya adalah White Temple atau sebutannya dalam
bahasa Thailand, Wat Rong Khun. Wat berarti temple
atau kuil, Rong artinya putih. Saya tidak tahu persis apa arti Khun. Biasanya
diletakkan di depan nama seseorang sebagai sebutan penghormatan, misalnya Khun
Danai Chanchaochai.
Pemandu
kami yang bernama Sarah, menjemput kami di hotel tepat pada waktunya, 7.30 pagi.
Saat itu kami baru saja selesai sarapan. Kami menginap di Hotel De Rachamanka,
yang sekarang telah berubah nama menjadi Hotel Panna. Hotel ini tidak besar.
Ruang makan berfungsi juga sebagai lobby,
sehingga kami bisa sarapan sambil memperhatikan para bikkhu yang sedang berpindapatta
pagi itu, lewat di depan hotel.
Mereka
membawa mangkuk kayu, berjalan dengan bertelanjang kaki menyusuri jalan Rachamanka.
Beberapa dari mereka masih sangat muda, bahkan masih anak-anak. Mereka adalah samanera atau calon bikkhu. Seorang ibu
berdana makanan kepada salah seorang bikkhu tepat di depan hotel. Bersikap
sebagai seorang turis yang sopan, saya berusaha untuk tidak mengambil gambar
bikkhu tersebut yang sedang berdoa. Seorang samanera muda sempat menengok ke
arah lobby, saat saya sedang asyik mengamati. Tak berapa lama, muncul seekor
tupai berjalan dan berakrobat di kabel listrik di depan hotel. Suasana pagi itu
terasa tenang dan damai.
Suasana Jalan Rachamanka, Chiang Mai. Jalan ini tergolong sepi dari lalu lalang kendaraan.
Hotel De Rachamanka (sekarang Panna Hotel).
Mobil
van yang menjemput kami tiba, dan ternyata kami adalah yang terakhir dijemput.
Turis yang lain adalah pasangan suami istri dari Hongkong, tiga orang wanita
dari Prancis, seorang pria dari Spanyol, dan seorang wanita dari Brazil. Kami
langsung menuju kota Chiang Rai.
Chiang
Rai berjarak sekitar 190 Km dari kota Chiang Mai. Kami membutuhkan waktu kurang
lebih 3 jam untuk sampai ke sana. Sarah, tour
guide kami, sangat ramah. Ia juga sangat informatif. Di jalan ia bercerita
pada kami tentang sejarah singkat kota Chiang Mai. Nama Chiang Rai yang mirip
dengan Chiang Mai, menurutnya, karena dulu Chiang Rai merupakan ibukota
kerajaan Lanna (Chiang Mai termasuk ke dalam wilayah Kerajaan Lanna).
Kami
berhenti sebentar di sebuah sumber air panas kecil sebelum mengunjungi White Temple. Setelah beristirahat
sebentar dan melihat-lihat sumber air panas, kami melanjutkan perjalanan.
Hot Spring (sumber air panas). Bau belerang terasa menyengat ketika kami berada di sini.
Kios-kios
penjualan souvenir di sumber air
panas.
Tak
berapa lama kemudian, kami sampai di White
Temple. Dari kejauhan tampak berdiri bangunan putih berbentuk unik. Seluruh
bangunan kuil ini berwarna putih, dari bawah hingga ke atas, sehingga
seolah-olah terbuat dari salju. Begitu putih, begitu bersih; saya merasakan
hawa sejuk hanya dengan memandangnya, padahal cuaca saat itu sangat terik.
Langit
yang cerah, warna birunya kontras melingkupi bangunan. Bentuk naga di atap
bangunan seolah seperti lengan-lengan yang menggapai langit. Sebuah kolam yang
berada di depan kuil memantulkan bayangannya, mengingatkan saya pada sebuah lukisan
Zen. Semua ini, beserta hamparan rumput hijau di sekitar bangunan temple, memberikan kesan seakan kita tak lagi berada di
bumi.
Di
pintu masuk, saat menyerahkan tiket kami diberi kantung plastik oleh petugas.
Gunanya untuk membawa sepatu kami, karena di dalam White Temple alas kaki wajib dilepas. Dua buah lonceng berada di
kiri dan kanan gerbang. Siapapun boleh membunyikannya.
Pada
akhir abad ke 20, kondisi asli Wat Rong Khun sangat memprihatinkan. Adalah
Ajarn Chalermchai Kositpipat, seorang
seniman kelahiran Chiang Rai, yang mendesain dan membiayai sendiri pembangunan serta
renovasi kuil tersebut. Ajarn Kositpipat membangun dengan tujuan, agar tempat
ini dapat dijadikan tempat belajar dan meditasi, sehingga orang dapat
memperoleh manfaat dari ajaran Buddha. Tentu saja, terbuka pula untuk turis
yang ingin melihat langsung keindahan arsitektur White Temple.
Keseluruhan struktur serta bentuk White Temple merupakan simbol-simbol yang memiliki arti. Tidak
seperti kebanyakan kuil di Thailand yang berwarna emas, Wat Rong Khun berwarna
putih dan juga terdiri dari potongan kaca. Warna putih sebagai simbol dari
kemurnian, dan kaca merupakan simbol Dhamma atau ajaran Buddha.
Kalau diperhatikan, atap kuil ini terdiri dari tiga susun.
Dekorasi naga yang mencuat dan menjulang itu menjadikan penampakan kuil ini
sangat menakjubkan dilihat dari kejauhan.
Untuk
memasuki White Temple, kita harus
melewati sebuah jembatan kecil, yang hanya dapat dilalui oleh satu orang. Di bawah
jembatan kita dapat melihat ratusan tangan yang menggapai, tampak menyedihkan, seolah
hendak meraih sesuatu. Ini merupakan simbol dari nafsu (desire). Area ini merupakan representasi dari penderitaan manusia
dan neraka. Jembatan kecil adalah simbol dari tumimbal lahir; melalui lingkaran
kematian dan kelahiran kembali menuju keadaan yang terbebas dari penderitaan. Dan
jalan menuju kebahagiaan adalah dengan meninggalkan godaan nafsu dan
keserakahan.
Keseluruhan tema dari Wat Rong Khun merupakan pesan simbolis; melepaskan
diri dari nafsu dan keserakahan, menuju pencerahan melalui ajaran Buddha.
Setelah
melalui jembatan tumimbal lahir serta penderitaan (saat itu saya merasa
menderita karena udara yang panas dan matahari yang begitu terik, sehingga saya
merasa terpanggang di atas jembatan), sampailah kami di Pintu GerbangSurga (The Gate of Heaven). Jalan mulai
sedikit lebar, di kiri kanan terdapat dua patung penjaga. Bayangan patung dan
ornamen pada dinding kiri kanan jalan membuat suasana sedikit teduh. Saya
berjalan sedikit ke pinggir, berlindung pada bayangan. Ternyata ini bukan
sekedar simbol atau analogi, tetapi setelah melewati ‘neraka’ tadi, saya bisa
sedikit menarik nafas lega.
Akhirnya
kami memasuki bangunan utama. Di dalam ruangan ini kami dilarang mengambil
gambar. Perbedaan suhu antara di luar tadi dengan di dalam ruangan sangat
terasa. Mungkin inilah yang disebut tercerahkan; saat penderitaan hilang, saya
merasa kembali utuh setelah tadi sempat tercerai berai meleleh di luar. Di
tengah ruangan seorang bikkhu sedang bermeditasi. Sama sekali tidak terusik
oleh kami para turis. Beberapa orang beranjali, memberi hormat.
Saya
melihat ke sekeliling, ke langit-langit. Di atas pintu masuk, dekat ke
langit-langit, tampak lukisan Buddha dengan wajah tenangnya dalam posisi
meditasi. Yang unik, pada dinding bangunan utama ini terdapat gambar-gambar
kartun seperti Pokemon, Hello Kitty, dan Super Heroes. Menurut informasi yang
saya dengar, ini bertujuan supaya anak-anak juga mau datang ke sini untuk
belajar.
Di
ujung ruangan terdapat pintu keluar. Kami kembali mengenakan sepatu dan
berjalan ke bagian belakang kuil. Di sini terdapat koridor panjang dengan
desain langit-langit berbentuk daun-daun kecil yang transparan. Lalu ada sebuah
aula besar dengan lukisan raja Thailand pada seluruh dindingnya. Di area ini
juga terdapat toilet. Barangkali toilet di sini adalah toilet yang paling unik.
Disebut juga sebagai Happy Room,
exterior bangunannya berwarna gold
atau emas. Juga terdapat lukisan pada dinding luarnya.
Mengapa
disebut Happy Room? Apakah Anda bahagia ketika berhasil memenuhi ‘panggilan
alam’ (natural calling)? Tentu.
Tetapi ini belumlah murni, artinya, bukan kebahagiaan yang tertinggi (ultimate). Kebahagiaan yang ultimit
adalah ketika kita berhasil mencapai kemurnian, purity, seperti yang disimbolkan dengan warna putih. Karena itulah
warna bangunan Happy Room berbeda
dengan warna bangunan kuil. Ia berwarna emas yang berkesan mewah, yang sifatnya
masih duniawi.
Koridor
di halaman belakang White Temple.
Langit-langit
koridor, berbentuk seperti daun transparan.
Happy Room
Dinding
luar Happy Room (Toilet).
30 Baht Untuk Sebuah Harapan
Di depan
ruang besar (hall) ada dua buah pohon
dengan batangnya berwarna putih, berdaun kecil transparan dan bentuknya yang
bersusun. Di salah satu pohon tergantung benda-benda berwarna perak. Benda-benda
itu memantulkan cahaya matahari, sehingga tampak berkilauan. Penasaran, saya
mendekati ‘pohon’ tersebut. Rupanya benda-benda perak itu berisi harapan atau
keinginan yang ditulis oleh orang-orang, dan digantungkan di sana. Untuk mendapatkannya,
kita harus mengeluarkan 30 baht (sekitar Rp. 13.000) di loket tidak jauh dari ‘pohon’
itu. Bentuknya mirip gantungan di kaca spion mobil atau gantungan hp berukuran
raksasa. Di atasnya kita menuliskan harapan. Tidak bisa panjang, karena spacenya sedikit. Jadi mungkin, hanya
bisa satu harapan. 30 baht untuk sebuah harapan. Tidak lebih.
Karena
pohon itu berisi harapan-harapan, maka saya menyebutnya The Trees ofWishes
(Pohon Harapan).
The Tree of Wishes,
pohon harapan. Bentuknya merupakan ciri khas arsitektur bagian utara Thailand (Northern Thailand); mungkin bentuk ini
sudah ada sejak jaman Kerajaan Lanna.
Bangunan
hall, diapit oleh pohon harapan.
Patung
Buddha di depan hall.
Hall besar dengan
bangku-bangku, beberapa turis nampak sedang beristirahat di sini.
Lukisan keluarga kerajaan pada dinding hall.
Waktunya
berkumpul di tempat yang sudah ditentukan oleh Sarah sebelum masuk White Temple tadi. Dari kejauhan saya
melihat pemandu kami itu dan beberapa turis dari grup kami sudah berdiri menunggu. Masih
ada beberapa menit, saya menyempatkan diri membeli minuman dingin bersoda.
Sambil berdiri di belakang Sarah, saya membuka botol minuman dan meneguknya.
Terasa menyegarkan, saya bisa merasakan soda seperti ratusan semut yang sedang
berjalan di dalam mulut. Terasa di lidah, langit-langit, terus turun melewati
kerongkongan. Dinginnya mengalir memberikan energi baru. Benar juga, kita baru
bisa mengapresiasi minum ketika pernah merasakan haus. Kita baru bisa merasakan
bahagia, ketika kita pernah menderita (duka). Setidaknya, menderita kepanasan
seperti tadi.
Masih
ada dua orang yang belum hadir, pasangan suami istri dari Hongkong. Sambil
menunggu, saya bertanya pada Sarah apa fungsi lonceng di samping gerbang tadi.
Sarah menjelaskan, para bikkhu di monastery
biasa membunyikan lonceng untuk menandai sesuatu. Misalnya untuk memulai
kegiatan, menandai waktu, atau memulai meditasi. Belum lama ini seorang bhante
dari tradisi Plum Village yang didirikan oleh master Zen Thich Nath Hanh
bercerita bahwa di Plum Village, ada sebuah jam yang berdentang setiap 15 menit
sekali. Bunyi lonceng atau jam dapat mengembalikan pikiran kita yang tadinya
mengembara ke mana-mana. Inilah yang disebut meditasi. Pikiran dan tubuh
bersatu (mindful).
Menit-menit
berlalu, kami masih menunggu karena pasangan suami istri dari Hongkong masih
belum muncul. Sarah mulai gelisah, karena seharusnya kami sudah berangkat
menuju tempat berikutnya. Setelah 15 menit, akhirnya Sarah meminta kami untuk
menunggu di dalam mobil saja, sementara dia akan mencari mereka. Kami
berbondong-bondong menuju mobil. Dan ketika teman kami dari Prancis membuka
pintu mobil, .... voila! Suami istri
itu sudah duduk manis di dalam. Sementara kami semua menunggu di luar
berpanas-panas, mereka duduk tenang-tenang di dalam mobil berAC...
Dengan
susah payah teman kami itu berbicara kepada pengemudi van agar ia mencari Sarah. Susah payah,
karena pengemudi tidak bisa berbahasa Inggris. Setengah bahasa verbal dan
setengah lagi bahasa isyarat, akhirnya si pengemudi mengerti dan berlari
menyusul Sarah. Kami menunggu dan bertanya-tanya, kira-kira bagaimana reaksi
Sarah nanti.
Ketika
Sarah muncul, seperti diberi komando kami semua menatap pemandu tur yang cantik
itu. Ia mengenakan sun glasses,
menutupi sebagian wajahnya yang licin seperti lilin. Langkahnya cepat, langsung
menuju pasangan suami istri dari Hongkong itu. Dia cuma berkata singkat dengan
nada dingin,
“I was waiting for you.” Lalu menutup
pintu mobil. Kami semua berpandangan, menarik nafas lega. Apa yang kami khawatirkan, bahwa Sarah akan marah-marah, tidak terjadi.
Mobil
bergerak meninggalkan White Temple.
Sarah kembali ceria. Ia mengatakan, tujuan kami berikutnya tidak kalah indah
dan menarik. Hanya saja, berbeda warna. Kami segera menuju...Blue
Temple.
Keterangan
:
Bikkhu : biksu
Pindapatta : pengumpulan dana makanan dengan cara
berkeliling ke rumah-rumah penduduk
dengan membawa mangkuk
Ajarn : profesor, guru
Anjali : sikap hormat dengan cara mengatupkan kedua tangan di depan dada
Tumimbal lahir :
proses
kelahiran jasmani dan batin baru yang timbul akibat adanya kekuatan kamma (perbuatan). Ini
berbeda dengan konsep reinkarnasi